PENDAHULUAN
Pendahuluan
Toksikologi adalah pemahaman
mengenai pengaruh-pengaruh bahan kimia yang merugikan bagi organisme hidup.
Suatu kerja toksik (racun) pada umumnya merupakan hasil dari sederetan proses
fisika, biokimia, dan biologik yang sangat rumit dan komplek. Perbedaan antara
obat dan racun terletak pada dosisnya. Keduanya sama-sama senyawa kimia yang
jika diberikan pada tubuh akan memberikan efek berbeda sesuai dosis yang
diberikan. Berdampak menyembuhkan jika dosisnya tepat tapi mengakibatkan keracunan
jika dosisnya berlebih. Racun merupakan zat kimia yang masuk dengan cara apapun
dan dalam jumlah kecil yang dapat menimbulkan gangguan atau abnormalitas
fisiokimia.
Toksikan ada yang bekerja secara lokal dan general
(umum). Secara umum ada beberapa senyawa kimia yang bekerja secara lokal
diantaranya adalah iritansia dan protektiva. Iritansia adalah kelompok senyawa
kimia yang memiliki daya kerja tidak selektif pada sel dan jaringan tubuh
manusia atau hewan. Cara kerjanya adalah dengan mencederai atau merusak sel-sel
atau bagian dari sel untuk sementara maupun permanen.
Reaksi yang bersifat ringan hanya akan
merangsang fungsi sel, namun bila parah atau berlangsung lama akan merusak
fungsi sel dan dapat menimbulkan kematian jaringan. Bergantung dari kekuatan
kerja senyawa kimia tersebut, daya kerja irritansia dapat berupa rubefaksi
(perangsangan setempat yang lemah), vesikasi (terjadi pembentukan vesikel),
pustulasi (terbentuk pus), dan korosi (sel-sel jaringan rusak).
Senyawa
protektiva adalah senyawa yang digunakan untuk melindungi kulit atau mukosa
terhadap daya kerja dari irritansia, baik yang kimiawi maupun yang berupa
sinar. Beberapa dapat melindungi tubuh dari efek zat-zat yang bekerja sistemik
dengan melindunginya agar tidak terserap melalui mukosa. Beberapa daya kerja
protektiva adalah demulsensia (senyawa kimia yang merupakan cairan koloid),
emolsiensia (senyawa kimia yang merupakan zat minyak), astringensia (senyawa
kimia yang digunakan lokal untuk mempresipitasikan protein), dan adsorbensia (senyawa
kimia yang digunakan pada kulit dan membran mukosa, ulcera, dan luka-luka).
Tujuan
Praktikum
ini bertujuan untuk mengetahui reaksi yang ditimbulkan oleh zat irritansia dan
protektiva serta perbedaan dari tiap perlakuan yang diberikan.
Metode
Kerja
A. Iritansia
1. Rubefasiensia
a.
Sepotong
menthol digosokkan pada kulit. Kemudian dicatat hasilnya dan diberi
keterangan.
b.
Kapas dicelupkan ke dalam kloroform dan
diletakkan di atas kulit lengan selama 2-3 menit atau sampai terasa nyeri.
Sebagai perbandingan diteteskan satu tetes kloroform di atas kulit lengan yang
lain. Kemudian hasil dicatat dan diberi keterangan
c.
Empat jari tangan dicelupkan
masing-masing ke dalam larutan fenol 5 %, dicatat hasilnya dan diberi
keterangan 1) air, 2) alkohol 3) gliserin 4) minyak olivarium
2. Kaustika
a.
Anaesthesi dilakukan pada
kelinci/marmot/tikus, setelah rambut-rambut bagian abdomen dicukur. Pada kiri dan kanan dari garis tengah abdomen
diteteteskan bahan-bahan di bawah ini :
-
1 tetes asam sulfat pekat
-
1 tetes asam khlorida pekat
-
1 tetes asam nitrat pekat
-
1 tetes fenol likuafatkum
-
1 tetes NaOH 75 %
-
1 tetes kloroform
b.
Setelah dibiarkan selama 30 menit,
hasilnya kemudian dicatat dan dilakukan percobaan yang sama pada mukosa usus
setelah dilakukan pembedahan longitudinal pada abdomen kelinci, marmot atau
tikus tersebut.
B.Protektiva
1. Demulensia
Hasilnya dicatat dan diberikan
keterangan. Metode kerja :
a.
Rangsangan diberikan pada salah satu
kaki kodok dengan :
-
H2SO4 1/75 N
-
H2SO4 1/50 N
-
H2SO4 1/25 N
-
H2SO4 1/10 N
b. Metode
selanjutnya dikerjakan seperti metode a. Dengan larutan-larrutan sebagai
berikut :
-
H2SO4 1/50 N
ditambah gom Arab 10%
-
H2SO4 1/25 N
ditambah gom Arab 10%
-
H2SO4 1/10 N
ditambah gom Arab 10%
2.
Astringensia
a.
Satu tetes larutan tannin 5 % diteteskan
pada permukaan ujung lidah. Setelah dua menit berkumur dengan air, dan ujung
lidah diamati dengan meminta peserta lain untuk melakukan pengamatan pada ujung
lidah, selain itu dapat juga diamati dengan cermin.
3.
Adsorbensia
a.
Sebanyak 1 ml larutan strikhnin nitrat
(0,2 mg/ml) disuntikkan pada katak secara subkutan.
b.
Sebanyak 1 ml larutan strikhnin nitrat
(0,2 mg/ml) disuntikkan pada katak secara subkutan yang sebelumnya telah
dikocok dengan karbo adsorbensia
c.
Hasil dicatat dan diberikan keterangan.
Tinjauan Pustaka
A.
Iritansia
Iritansia
merupakan kelompok zat kimia lokal yang menyebabkan terjadinya kerusakan
jaringan tubuh. Zat-zat ini mempunyai kemampuan yang tinggi dalam bereaksi
dengan jaringan tubuh. Secara umum, paparannya tidak langsung mencapai pembuluh
darah tetapi bereaksi secara lokal pada tempat terjadinya paparan. Jaringan
tubuh yang umumnya teriritasi akibat paparan zat-zat tersebut adalah kulit dan
mukosa. Kedua jaringan ini mudah ditembus oleh zat iritan, baik yang bersifat
hidrofil maupun lipofil.
Berdasarkan
daya kerjanya, iritansia terbagi atas rubefaksi, vesikasi, pustulasi dan
korosi.
Rubefaksi
Rubefaksi merupakan kelompok
senyawa kimia iritansia yang mempunyai daya kerja lemah. Gejala utama yang
ditimbulkan oleh senyawa kimia ini adalah hiperemia arteriol yang dilanjutkan
dengan dermatitis eritrematosa. Contoh daya kerja dari rubafasiensia terlihat
pada paparan menthol, kloroform ataupun fenol pada kulit. Menthol merupakan
seyawa yang bisa menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah. Rasa nyeri dan sakit
akan timbul jika menthol digosokan secara terus-menerus pada kulit. Kloroform
akan menimbulkan iritasi ringan jika terpapar dalam waktu yang lama di kulit.
Hal ini disebabkan oleh kemampuan dari senyawa yang temasuk turunan asam
formiat ini untuk melarutkan lemak. Sedangkan daya kerja iritan dari fenol
disebabkan oleh sifat keratolisis dan vasokonstrifnya. Meskipun demikian, efek
iritasinya dapat berbeda-beda tergantung pada jenis larutannya. Fenol akan
menjadi iritan jika dicampurkan dengan air ataupun alkohol. Hal ini disebabkan
oleh kemampuan fenol sebagai pelarut, terutama pada senyawa-senyawa polar.
Selain
itu, terdapat juga senyawa-senyawa lain yang bersifat kausatika.
Senyawa-senyawa ini adalah asam kuat dan basa kuat. Contoh asam kuat adalah
asam nitrat, asam sulfat, dan asam klorida. Sedangkan basa kuat adalah natrium
hidroksida. Reaksi asam akan menyebabkan koagulasi protein dan reaksi basa
menyebabkan terjadinya lisis.
Vesikasi
Daya kerja vesikasi menyebabkan
terjadinya pembentukan vesikel/gelembung. Hal ini merupakan akibat akumulasi
cairan transudat yang tinggi sehingga tidak dapat diangkut oleh bulu limfe.
Cairan ini terakumulasi di stratum korneum dan mengundang datangnya leukosit.
Transudat yang awalnya jernih akan berubah menjadi keruh.
Pustulasi
Daya kerja dari pustulasi adalah
terbentuknya pus/nanah. Hal ini
disebabkan karena iritasi terjadi hanya pada kelenjar-kelenjar kutaneus.
Korosi
Daya kerja ini melibatkan tiga fase,
yaitu: radang dengan hiperemi, nekrosis dan pencairan kimia. Iritasi yang
terjadi disebabkan oleh kerja iritan pada protoplasma.
B.
Protektiva
Kelompok
senyawa kimia protektiva mempunyai kempuan untuk melindungi kulit dan mukosa
dari kerusakan. Daya kerja protektiva bersifat demulsensia, emoliensia,
astringensia, dan adsorbensia.
Demulsensia
Daya
kerja dari senyawa ini adalah membentuk lapisan untuk melindungi kulit. Hal ini
ditimbulkan oleh efek pencampuran cairan koloid dengan air. Gom (resin),
musilago, dan pati merupakan bahan utama dari senyawa demulsensia.
Emoliensia
Minyak merupakan senyawa yang
termasuk ke dalam kelompok emoliensia. Senyawa ini mempunyai kemampuan untuk
melindungi kulit dari iritasi.
Astringensia
Daya
kerja utama senyawa astringensia adalah kemampuan presipitasinya. Permeabilitas
membran dapat ditekan tanpa menyebabkan terjadinya kematian sel. Perubahan
permeabilitas menyebabkan menurunnya penyerapan zat iritan. Contoh senyawa
astringensia adalah tanin.
Adsorbensia
Senyawa kimia
berdaya adsorbensia mempunyai kemampuan untuk menyerap zat iritan. Contoh
senyawa adsorbensia adalah karbon. Senyawa ini tidak mengiritasi kulit,
melainkan melindungi kulit dengan cara mengabsorbsi zat iritan. Senyawa ini
tidak berbahaya karena tidak diserap tubuh dan akan dikeluarkan melalui
ekskresi.
HASIL
I.
Golongan Iritansia
I.1
Rubefasiensia
a. Penggosokan
sepotong menthol pada kulit
Penggosokan mentol pada kulit menyebabkan kulit terasa
panas dan menjadi merah
b. Kapas berchlororoform yang diletakan di atas kulit
c. Pencelupan
jari tangan ke dalam larutan:
|
Fenol + air
|
Fenol + alkohol 25%
|
Fenol + gliserin 25%
|
Fenol + minyak olivarium
|
Warna jari
|
Berubah menjadi putih, agak lebih keras
|
Tidak ada perubahan
|
Tidak ada perubahan
|
Tidak ada perubahan
|
Kesemutan
|
Setelah beberapa saat (++)
|
(+)
|
(-)
|
(-)
|
Panas
|
-
|
-
|
++ (ketika baru dikeluarkan)
|
+ (ketika baru dikeluarkan)
|
Mati rasa
|
++
|
+
|
-
|
-
|
Tabel 1
Rubefasiensia
I.2 Kaustika
|
|
H2SO4 pekat
|
HCl pekat
|
HNO3 pekat
|
Fenol 5%
|
NaOH 75%
|
Kloroform
|
Pada kulit yang dicukur
|
ketidakelastisitasan
|
++
|
++
|
+
|
-
|
-
|
-
|
Perubahan Warna
|
Putih
|
Coklat
|
Kekuningan
|
-
|
Merah bata
|
-
|
|
Pada usus
|
Perubahan warna
|
Menjadi putih
|
Menjadi puih
|
Menjadi putih
|
Mengeluarkan cairan
|
Mengeluarkan cairan
|
Mengeluarkan cairan
|
Tabel 2
Kaustika
|
|
|
|
II. Golongan Protektiva
II.1 Demulsensia
Bahan
|
Hasil
|
Waktu
|
H2SO4 1/10 N
|
++++
|
2 detik
|
H2SO4 1/50 N
|
+++
|
4 detik
|
H2SO4 1/10 N + gum
arab 10%
|
++
|
11 detik
|
H2SO4 1/50N + gum
arab 10%
|
+
|
30 detik
|
Tabel 3 demulsensia
II.2 Astringensia
Tannin terasa pahit ketika diteteskan di lidah. Setelah
kurang lebih 30 detik setelah penetesan, lidah dan bagian lain mulut yang
terkena tannin menjadi sepet. Setelah
2 menit dan dikumur dengan air, lidah terlihat berwarna lebih merah daripada
lidah yang tidak ditetesi tannin.
II.3 Adsorbensia
Perlakuan
|
Reaksi
|
Striknin nitrat (0,2mg/ml)
|
Kejang setelah 3 menit 22 detik
Kejang bersifat asimetris dan aspontan
Katak mengeluarkan bunyi “ngik” yang khas
|
Striknin nitrat (0,2mg/ml) + carbo
adsorbensia
|
Tidak terlihat terjadinya kejang dan gejala klinis lain
sampai 1 jam pemberian obat
|
Tabel
4 adsorbensia
PEMBAHASAN
Asam
sulfat (H2SO4) merupakan sejenis asam kuat yang dapat mengiritasi jaringan.
Apabila cairan ini diteteskan pada lapisan mukosa yang sudah ditusuk sebelumnya
dengan jarum, mukosa akan terasa terbakar dan sangat sakit. Katak yang
digunakan adalah katak yang telah sebelumnya dideserebrasi (cerebrum katak
dirusak dengan menggunakan sonde). Aktivitas ini memang merusak bagian cerebrum
katak namun tidak berpengaruh pada reaksi saraf reflex yang berpusat pada saraf
tulang belakang (columna vertebralis). Pada pemberian asam sulfat pekat 1/10N,
terlihat refleks katak dengan cepat menarik kakinya untuk menghindari sumber sakit.
Hal yang sama terjadi dengan pemberian asam sulfat pekat sebesar 1/50N,
walaupun refleks terjadi 2 detik lebih lambat. Namun, apabila ke dalam larutan
asam sulfat pekat ditambahkan gum arab sebesar 10%, waktu sampai terjadinya
refleks bertambah menjadi lima kali lipat untuk H2SO4 dengan konsentrasi 1/10N
dan 7,5 kali lipat untuk H2SO4 dengan konsentrasi 1/50N. Hal ini disebabkan
karena Gum Arab merupakan demulensia, sebuah senyawa koloid yang bercampur
dengan air. Zat ini dapat membentuk sebuah lapisan pelindung pada permukaan
kulit yang akan melindungi kulit atau mukosa dari iritasi, dalam hal ini asam
sulfat pekat. Senyawa demulensia ini merupakan salah satu contoh senyawa yang
bersifat melindugi (protektiva).
Senyawa
protektiva lain yang cukup banyak dikenal adalah tanin. Penetesan tanin pada
lidah menyebabkan lidah terasa sepet. Hal
ini boleh jadi merupakan salah satu dampak tanin dan kemampuan presipitasinya. Tanin
mampu menekan permeabilitas membran sehingga pertukaran zat pada membran
menjadi berkurang. Akibatnya, jumlah zat iritan yang dapat masuk ke dalam sel
menjadi berkurang, sehingga rasa sakit yang ditimbulkan juga akan menjadi
sedikit.
Golongan
protektiva terakhir yang akan dibahas adalah adsorbensia. Senyawa iritan dari
golongan ini memiliki kemampuan untuk menyerap zat iritan. Hal ini dapat
dibuktikan oleh hasil dari percobaan yang tertulis pada tabel
4. Striknin merupakan larutan
yang diberikan secara subcutan yang dapat menyebabkan terjadinya kejang-kejang.
Pada pemberian striknin nitrat pada katak, setelah 3 menit dan 22 detik katak
mengalami kejang dan mengeluarkan bunyi “ngik” yang khas. Kejang ini bersifat
asimetris dan aspontan. Sebaliknya, pada pemberian striknin nitrat yang telah
terlebih dahulu dicampurkan dengan carbo adsorbensia, pengaruh striknin pada
katak tidak terlihat sama sekali sampai satu jam setelah penyuntikan. Katak
terlihat berperilaku normal dengan tidak menunjukan gejala klinis. Hal ini
kemungkinan dapat terjadi karena carbon yang sebelumnya telah dicampurkan dengan
striknin telah menyerap striknin sehingga kandungan striknin dalam larutan
menjadi berkurang atau bahkan mendekati hilang. Akibatnya, dosis striknin
nitrat yang diberikan pada katak menjadi tidak cukup untuk menyebabkan
terjadinya gejala klinis yang khas.
Penggosokan mentol pada permukaan tangan menyebabkan
permukaan yang digosok menjadi terasa panas dan merah. Salah satu dari penyebab
ini adalah sifat penggesekan yang menghasilkan panas. Tambah lagi sifat menthol
yang mengandung mint meningkatkan
panas yang terbentuk. Warna merah terjadi karena terjadinya pembesaran diameter
pembuluh darah (vasodilatasi) sehingga jumlah darah yang terlihat dalam kapiler
menjadi meningkat. Karena sifat darah yang berwarna merah akibat kandungan
hemoglobinnya, maka daerah yang digosok menjadi terlihat lebih merah.
Fenol merupakan agen iritan yang bersifat keratolisis dan
vasokonstriktif. Artinya, pemberian fenol dapat menyebabkan terjadinya lisis
pada sel kulit dan menyempitnya pembuluh darah. Fenol merupakan pelarut senyawa,
khususnya senyawa polar. Karena merupakan senyawa polar, pelarutan air dengan
alkohol dapat menyebabkan terjadinya iritasi ringan apabila tersentuh. Hal ini
terlihat dari hasil percobaan bahwa pemasukan jari ke dalam campuran larutan
fenol yang ditambah dengan air menyebabkan jari berubah warna menjadi putih dan
lebih keras. Setelah beberapa saat, tangan juga terasa lebih mati rasa dan
kemudian menjadi kesemutan. Hal ini menunjukan bahwa terjadi vasokonstriksi dan
kekurangpekaan pada saraf sensoris. Pada larutan fenol + alkohol, tidak terjadi
perubahan warna yang terlihat namun jari terasa sedikit mati rasa dan
kesemutan. Ketika jari dimasukan ke dalam larutan berisi fenol dan gliserin
serta fenol dan minyak olivarium, tidak terasa adanya perubahan klinis namun
ketika jari dikeluarkan dari botol, jari terasa hangat. Hal ini menunjukan
bahwa sifat fenol berupa keratolisis dan vasokonstriktif tidak terasa akibatnya
apabila fenol dicampur degan gliserin dan minyak olivarium.
Percobaan kaustika bertujuan untuk mengetahui dampak dari
pemberian larutan, khususnya asam dan basa pekat, terhadap kulit dan mukosa
(usus) mencit yang sudah terlebih dahulu disuntik dengan urethan. Urethan
secara permanen menghilangkan kesadaran mencit dengan tetap mempertahankan
fungsi fisiologis normalnya. Tujuan percobaan ini adalah mengetahui pengaruh
berbagai larutan pada mukosa kulit yang teramati melalui elastisitas dan
perubahan kulit. Elastisitas pada kulit diukur dengan menusuk permukaan kulit
yang ditetesi dan kemudian diangkat. Apabila kulit dapat terangkat, maka
ketidakelastisitasannya positif sedangkan apabila kulit dapat terangkat normal,
ketidakelastisitasannya adalah negatif. Pada penetesan kulit dengan asam pekat
seperti H2SO4, HCl dan HNO3, kulit terasa menjadi keras dan tidak dapat
terangkat. Hal ini kemungkinan terjadi akibat menggumpalnya sel-sel protein
pada permukaan kulit karena penetesan asam pekat. Perubahan lain yang terlihat
adalah perubahan warna kulit. Penetesan H2SO4 pekat menyebabkan warna kulit
menjadi warna putih, HCl pekat menyebabkan kulit menjadi berwarna coklat,
sedangkan HNO3 pekat menyebabkan kulit menjadi berwarna kekuningan. Perubahan
warna ini erat kaitannya dengan pigmentasi dan nekrosa sel. Pada sisi lain,
penetesan fenol 5% tidak menyebabkan perubahan yang terlalu signifikan pada
permukaan kulit tikus. Fenol diketahui menjadi penyebab iritan apabila dicampur
dengan air atau alkohol, namun pada percobaan ini dampak fenol pada kulit tidak
jelas terlihat secara makroskopis jika dibandingkan dengan pengaruh asam atau
basa kuat. Penetesan basa kuat (NaOH) tidak mempengaruhi keelastisan kulit
namun menyebabkan kulit terlihat lebih basah dan mengeluarkan cairan. Hal ini
mungkin terjadi karena basa kuat menyebabkan lisisnya sel sehingga cairan
keluar dari sel. Perubahan warna yang terlihat adalah kulit menjadi berwarna
merah bata. Tidak jauh berbeda, chloroform pada kulit juga menyebabkan
terjadinya pengeluaran cairan walaupun tidak terlalu jelas terlihat. Kejelasan
mengenai elastisitas dapat terlihat jelas pada gambar satu sampai lima. Pada
gambar 1 terlihat jarum yang telah ditusukan sangat susah diangkat. Pada gambar
kedua (penetesan HCl pekat), kulit terasa keras ketika ditusuk dan sangat susah
diangkat, begitu pula halnya dengan gambar ketiga (HNO3 pekat). Pada
penetesan fenol pekat dan NaOH pekat, kulit masih dapat ditarik dengan mudah
oleh jarum.
Mukosa usus bersifat lebih sensitif dibandingkan dengan
permukaan kulit sehingga penetesan cairan iritan yang pekat dapat menunjukan
gejala klinis yang lebih cepat dan jelas. Penetesan asam pekat pada membran
mukosa usus menyebabkan usus dengan cepat berubah warna menjadi putih. Usus
terlihat menjadi lebih keras dan mengkerut. Hal ini cukup jelas menunjukan
pengaruh asam kuat pada terjadinya penggumpalan protein. Penetesan fenol, NaOH
dan kloroform menyebabkan terjadinya pengeluaran cairan dari mukosa. Hal ini
menunjukan bahwa terjadi lisis pada sel sehingga cairan dari dalam sel keluar
ke permukaan.
Kesimpulan
Zat
irritansia dapat menimbulkan berbagai kerusakan pada kulit dan mukosa. Zat yang
bersifat asam kuat dapat mendenaturasikan protein dan basa kuat dapat
melisiskan protein. Ada pula senyawa yang menimbulkan rubefaksi, misalnya
menthol, fenol dan kloroform. Zat yang dapat melindungi dari irritansia disebut
protektiva. Zat ini dapat bersifat menyerap zat racun (contoh: karbon aktif),
membentuk lapisan (contoh: gom arab), mempresipitasikan protein (contoh:
tannin) dan melunakkan, menutup serta melindungi kulit (contoh: minyak
olivarum). Pencampuran zat irritansia denga protektiva akan menyebabkan efek
sakit yang timbul lebih lambat.
Daftar
pustaka
Ariens EJ,
Mutschler E, Simonis A. M. 1978. Pengantar
Toksikologi Umum.
Wattimena
YR, Widianto MB, Sukandar EY, penerjemah; Padmawinata K,
editor.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari:
Allgemeine Toxikologie, Eine
Einfuhrung.
Ansel, Howaed C.
1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi.
Ed ke-4. Jakarta: UI
Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar