Rabu, 22 Mei 2013

SENYAWA KIMIA YANG BEKERJA LOKAL ( SETEMPAT )


PENDAHULUAN
Pendahuluan
            Toksikologi adalah pemahaman mengenai pengaruh-pengaruh bahan kimia yang merugikan bagi organisme hidup. Suatu kerja toksik (racun) pada umumnya merupakan hasil dari sederetan proses fisika, biokimia, dan biologik yang sangat rumit dan komplek. Perbedaan antara obat dan racun terletak pada dosisnya. Keduanya sama-sama senyawa kimia yang jika diberikan pada tubuh akan memberikan efek berbeda sesuai dosis yang diberikan. Berdampak menyembuhkan jika dosisnya tepat tapi mengakibatkan keracunan jika dosisnya berlebih. Racun merupakan zat kimia yang masuk dengan cara apapun dan dalam jumlah kecil yang dapat menimbulkan gangguan atau abnormalitas fisiokimia.
Toksikan ada yang bekerja secara lokal dan general (umum). Secara umum ada beberapa senyawa kimia yang bekerja secara lokal diantaranya adalah iritansia dan protektiva. Iritansia adalah kelompok senyawa kimia yang memiliki daya kerja tidak selektif pada sel dan jaringan tubuh manusia atau hewan. Cara kerjanya adalah dengan mencederai atau merusak sel-sel atau bagian dari sel untuk sementara maupun permanen.
 Reaksi yang bersifat ringan hanya akan merangsang fungsi sel, namun bila parah atau berlangsung lama akan merusak fungsi sel dan dapat menimbulkan kematian jaringan. Bergantung dari kekuatan kerja senyawa kimia tersebut, daya kerja irritansia dapat berupa rubefaksi (perangsangan setempat yang lemah), vesikasi (terjadi pembentukan vesikel), pustulasi (terbentuk pus), dan korosi (sel-sel jaringan rusak).
Senyawa protektiva adalah senyawa yang digunakan untuk melindungi kulit atau mukosa terhadap daya kerja dari irritansia, baik yang kimiawi maupun yang berupa sinar. Beberapa dapat melindungi tubuh dari efek zat-zat yang bekerja sistemik dengan melindunginya agar tidak terserap melalui mukosa. Beberapa daya kerja protektiva adalah demulsensia (senyawa kimia yang merupakan cairan koloid), emolsiensia (senyawa kimia yang merupakan zat minyak), astringensia (senyawa kimia yang digunakan lokal untuk mempresipitasikan protein), dan adsorbensia (senyawa kimia yang digunakan pada kulit dan membran mukosa, ulcera, dan luka-luka).


Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui reaksi yang ditimbulkan oleh zat irritansia dan protektiva serta perbedaan dari tiap perlakuan yang diberikan.
Metode Kerja
A.  Iritansia
   1.  Rubefasiensia
a.                   Sepotong  menthol digosokkan pada kulit. Kemudian dicatat hasilnya dan diberi keterangan.
b.                  Kapas dicelupkan ke dalam kloroform dan diletakkan di atas kulit lengan selama 2-3 menit atau sampai terasa nyeri. Sebagai perbandingan diteteskan satu tetes kloroform di atas kulit lengan yang lain. Kemudian hasil dicatat dan diberi keterangan
c.                   Empat jari tangan dicelupkan masing-masing ke dalam larutan fenol 5 %, dicatat hasilnya dan diberi keterangan 1) air, 2) alkohol 3) gliserin 4) minyak olivarium

2.      Kaustika
a.                   Anaesthesi dilakukan pada kelinci/marmot/tikus, setelah rambut-rambut bagian abdomen dicukur.  Pada kiri dan kanan dari garis tengah abdomen diteteteskan bahan-bahan di bawah ini :
-          1 tetes asam sulfat pekat
-          1 tetes asam khlorida pekat
-          1 tetes asam nitrat pekat
-          1 tetes fenol likuafatkum
-          1 tetes NaOH 75 %
-          1 tetes kloroform
b.                  Setelah dibiarkan selama 30 menit, hasilnya kemudian dicatat dan dilakukan percobaan yang sama pada mukosa usus setelah dilakukan pembedahan longitudinal pada abdomen kelinci, marmot atau tikus tersebut.


B.Protektiva
1.      Demulensia
Hasilnya dicatat dan diberikan keterangan. Metode kerja :
a.       Rangsangan diberikan pada salah satu kaki kodok dengan :
-          H2SO4 1/75 N
-          H2SO4 1/50 N
-          H2SO4 1/25 N
-          H2SO4 1/10 N
b.      Metode selanjutnya dikerjakan seperti metode a. Dengan larutan-larrutan sebagai berikut :
-          H2SO4 1/50 N ditambah gom Arab 10%
-          H2SO4 1/25 N ditambah gom Arab 10%
-          H2SO4 1/10 N ditambah gom Arab 10%

2.         Astringensia
a.                   Satu tetes larutan tannin 5 % diteteskan pada permukaan ujung lidah. Setelah dua menit berkumur dengan air, dan ujung lidah diamati dengan meminta peserta lain untuk melakukan pengamatan pada ujung lidah, selain itu dapat juga diamati dengan cermin.

3.         Adsorbensia
a.                   Sebanyak 1 ml larutan strikhnin nitrat (0,2 mg/ml) disuntikkan pada katak secara subkutan.
b.                  Sebanyak 1 ml larutan strikhnin nitrat (0,2 mg/ml) disuntikkan pada katak secara subkutan yang sebelumnya telah dikocok dengan karbo adsorbensia
c.                   Hasil dicatat dan diberikan keterangan.

 Tinjauan Pustaka
A.    Iritansia
Iritansia merupakan kelompok zat kimia lokal yang menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Zat-zat ini mempunyai kemampuan yang tinggi dalam bereaksi dengan jaringan tubuh. Secara umum, paparannya tidak langsung mencapai pembuluh darah tetapi bereaksi secara lokal pada tempat terjadinya paparan. Jaringan tubuh yang umumnya teriritasi akibat paparan zat-zat tersebut adalah kulit dan mukosa. Kedua jaringan ini mudah ditembus oleh zat iritan, baik yang bersifat hidrofil maupun lipofil.
Berdasarkan daya kerjanya, iritansia terbagi atas rubefaksi, vesikasi, pustulasi dan korosi.

Rubefaksi
Rubefaksi merupakan kelompok senyawa kimia iritansia yang mempunyai daya kerja lemah. Gejala utama yang ditimbulkan oleh senyawa kimia ini adalah hiperemia arteriol yang dilanjutkan dengan dermatitis eritrematosa. Contoh daya kerja dari rubafasiensia terlihat pada paparan menthol, kloroform ataupun fenol pada kulit. Menthol merupakan seyawa yang bisa menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah. Rasa nyeri dan sakit akan timbul jika menthol digosokan secara terus-menerus pada kulit. Kloroform akan menimbulkan iritasi ringan jika terpapar dalam waktu yang lama di kulit. Hal ini disebabkan oleh kemampuan dari senyawa yang temasuk turunan asam formiat ini untuk melarutkan lemak. Sedangkan daya kerja iritan dari fenol disebabkan oleh sifat keratolisis dan vasokonstrifnya. Meskipun demikian, efek iritasinya dapat berbeda-beda tergantung pada jenis larutannya. Fenol akan menjadi iritan jika dicampurkan dengan air ataupun alkohol. Hal ini disebabkan oleh kemampuan fenol sebagai pelarut, terutama pada senyawa-senyawa polar.
Selain itu, terdapat juga senyawa-senyawa lain yang bersifat kausatika. Senyawa-senyawa ini adalah asam kuat dan basa kuat. Contoh asam kuat adalah asam nitrat, asam sulfat, dan asam klorida. Sedangkan basa kuat adalah natrium hidroksida. Reaksi asam akan menyebabkan koagulasi protein dan reaksi basa menyebabkan terjadinya lisis. 
Vesikasi
Daya kerja vesikasi menyebabkan terjadinya pembentukan vesikel/gelembung. Hal ini merupakan akibat akumulasi cairan transudat yang tinggi sehingga tidak dapat diangkut oleh bulu limfe. Cairan ini terakumulasi di stratum korneum dan mengundang datangnya leukosit. Transudat yang awalnya jernih akan berubah menjadi keruh.
Pustulasi
Daya kerja dari pustulasi adalah terbentuknya  pus/nanah. Hal ini disebabkan karena iritasi terjadi hanya pada kelenjar-kelenjar kutaneus.
Korosi
Daya kerja ini melibatkan tiga fase, yaitu: radang dengan hiperemi, nekrosis dan pencairan kimia. Iritasi yang terjadi disebabkan oleh kerja iritan pada protoplasma.

B.     Protektiva
Kelompok senyawa kimia protektiva mempunyai kempuan untuk melindungi kulit dan mukosa dari kerusakan. Daya kerja protektiva bersifat demulsensia, emoliensia, astringensia, dan adsorbensia.
Demulsensia
Daya kerja dari senyawa ini adalah membentuk lapisan untuk melindungi kulit. Hal ini ditimbulkan oleh efek pencampuran cairan koloid dengan air. Gom (resin), musilago, dan pati merupakan bahan utama dari senyawa demulsensia.
Emoliensia
Minyak merupakan senyawa yang termasuk ke dalam kelompok emoliensia. Senyawa ini mempunyai kemampuan untuk melindungi kulit dari iritasi.
Astringensia
Daya kerja utama senyawa astringensia adalah kemampuan presipitasinya. Permeabilitas membran dapat ditekan tanpa menyebabkan terjadinya kematian sel. Perubahan permeabilitas menyebabkan menurunnya penyerapan zat iritan. Contoh senyawa astringensia adalah tanin.
Adsorbensia
Senyawa kimia berdaya adsorbensia mempunyai kemampuan untuk menyerap zat iritan. Contoh senyawa adsorbensia adalah karbon. Senyawa ini tidak mengiritasi kulit, melainkan melindungi kulit dengan cara mengabsorbsi zat iritan. Senyawa ini tidak berbahaya karena tidak diserap tubuh dan akan dikeluarkan melalui ekskresi. 

HASIL
I.         Golongan Iritansia
I.1 Rubefasiensia
a.      Penggosokan sepotong menthol pada kulit
Penggosokan mentol pada kulit menyebabkan kulit terasa panas dan menjadi merah
b.      Kapas  berchlororoform yang diletakan di atas kulit

c.       Pencelupan jari tangan ke dalam larutan:

Fenol + air
Fenol + alkohol 25%
Fenol + gliserin 25%
Fenol + minyak olivarium
Warna jari
Berubah menjadi putih, agak lebih keras
Tidak ada perubahan
Tidak ada perubahan
Tidak ada perubahan
Kesemutan
Setelah beberapa saat (++)
(+)
(-)
(-)
Panas
-
-
++ (ketika baru dikeluarkan)
+ (ketika baru dikeluarkan)
Mati rasa
++
+
-
-


     Tabel 1 Rubefasiensia

I.2 Kaustika


H2SO4 pekat
HCl pekat
HNO3 pekat
Fenol 5%
NaOH 75%
Kloroform
Pada kulit yang dicukur
ketidakelastisitasan
++
++
+
-
-
-
Perubahan Warna
Putih
Coklat
Kekuningan
-
Merah bata
-
Pada usus
Perubahan warna
Menjadi putih
Menjadi puih
Menjadi putih
Mengeluarkan cairan
Mengeluarkan cairan
Mengeluarkan cairan
Tabel 2 Kaustika
Gambar 2 HClpekat
 
Gambar 1 H2SO4 pekat
 


 
Gambar 5 NaOH pekat
 
II.   Golongan Protektiva
II.1 Demulsensia
Bahan
Hasil
Waktu
H2SO4 1/10 N
++++
2 detik
H2SO4 1/50 N
+++
4 detik
H2SO4 1/10 N + gum arab 10%
++
11 detik
H2SO4 1/50N + gum arab 10%
+
30 detik
      Tabel 3 demulsensia
    II.2 Astringensia
Tannin terasa pahit ketika diteteskan di lidah. Setelah kurang lebih 30 detik setelah penetesan, lidah dan bagian lain mulut yang terkena tannin menjadi sepet. Setelah 2 menit dan dikumur dengan air, lidah terlihat berwarna lebih merah daripada lidah yang tidak ditetesi tannin.
    II.3 Adsorbensia
Perlakuan
Reaksi
Striknin nitrat (0,2mg/ml)
Kejang setelah 3 menit 22 detik
Kejang bersifat asimetris dan aspontan
Katak mengeluarkan bunyi “ngik” yang khas
Striknin nitrat (0,2mg/ml) + carbo adsorbensia
Tidak terlihat terjadinya kejang dan gejala klinis lain sampai 1 jam pemberian obat
   Tabel 4 adsorbensia

 PEMBAHASAN
            Asam sulfat (H2SO4) merupakan sejenis asam kuat yang dapat mengiritasi jaringan. Apabila cairan ini diteteskan pada lapisan mukosa yang sudah ditusuk sebelumnya dengan jarum, mukosa akan terasa terbakar dan sangat sakit. Katak yang digunakan adalah katak yang telah sebelumnya dideserebrasi (cerebrum katak dirusak dengan menggunakan sonde). Aktivitas ini memang merusak bagian cerebrum katak namun tidak berpengaruh pada reaksi saraf reflex yang berpusat pada saraf tulang belakang (columna vertebralis). Pada pemberian asam sulfat pekat 1/10N, terlihat refleks katak dengan cepat menarik kakinya untuk menghindari sumber sakit. Hal yang sama terjadi dengan pemberian asam sulfat pekat sebesar 1/50N, walaupun refleks terjadi 2 detik lebih lambat. Namun, apabila ke dalam larutan asam sulfat pekat ditambahkan gum arab sebesar 10%, waktu sampai terjadinya refleks bertambah menjadi lima kali lipat untuk H2SO4 dengan konsentrasi 1/10N dan 7,5 kali lipat untuk H2SO4 dengan konsentrasi 1/50N. Hal ini disebabkan karena Gum Arab merupakan demulensia, sebuah senyawa koloid yang bercampur dengan air. Zat ini dapat membentuk sebuah lapisan pelindung pada permukaan kulit yang akan melindungi kulit atau mukosa dari iritasi, dalam hal ini asam sulfat pekat. Senyawa demulensia ini merupakan salah satu contoh senyawa yang bersifat melindugi (protektiva).
            Senyawa protektiva lain yang cukup banyak dikenal adalah tanin. Penetesan tanin pada lidah menyebabkan lidah terasa sepet. Hal ini boleh jadi merupakan salah satu dampak tanin dan kemampuan presipitasinya. Tanin mampu menekan permeabilitas membran sehingga pertukaran zat pada membran menjadi berkurang. Akibatnya, jumlah zat iritan yang dapat masuk ke dalam sel menjadi berkurang, sehingga rasa sakit yang ditimbulkan juga akan menjadi sedikit.
            Golongan protektiva terakhir yang akan dibahas adalah adsorbensia. Senyawa iritan dari golongan ini memiliki kemampuan untuk menyerap zat iritan. Hal ini dapat dibuktikan oleh hasil dari percobaan yang tertulis pada tabel 4. Striknin merupakan larutan yang diberikan secara subcutan yang dapat menyebabkan terjadinya kejang-kejang. Pada pemberian striknin nitrat pada katak, setelah 3 menit dan 22 detik katak mengalami kejang dan mengeluarkan bunyi “ngik” yang khas. Kejang ini bersifat asimetris dan aspontan. Sebaliknya, pada pemberian striknin nitrat yang telah terlebih dahulu dicampurkan dengan carbo adsorbensia, pengaruh striknin pada katak tidak terlihat sama sekali sampai satu jam setelah penyuntikan. Katak terlihat berperilaku normal dengan tidak menunjukan gejala klinis. Hal ini kemungkinan dapat terjadi karena carbon yang sebelumnya telah dicampurkan dengan striknin telah menyerap striknin sehingga kandungan striknin dalam larutan menjadi berkurang atau bahkan mendekati hilang. Akibatnya, dosis striknin nitrat yang diberikan pada katak menjadi tidak cukup untuk menyebabkan terjadinya gejala klinis yang khas.
Penggosokan mentol pada permukaan tangan menyebabkan permukaan yang digosok menjadi terasa panas dan merah. Salah satu dari penyebab ini adalah sifat penggesekan yang menghasilkan panas. Tambah lagi sifat menthol yang mengandung mint meningkatkan panas yang terbentuk. Warna merah terjadi karena terjadinya pembesaran diameter pembuluh darah (vasodilatasi) sehingga jumlah darah yang terlihat dalam kapiler menjadi meningkat. Karena sifat darah yang berwarna merah akibat kandungan hemoglobinnya, maka daerah yang digosok menjadi terlihat lebih merah.
Fenol merupakan agen iritan yang bersifat keratolisis dan vasokonstriktif. Artinya, pemberian fenol dapat menyebabkan terjadinya lisis pada sel kulit dan menyempitnya pembuluh darah. Fenol merupakan pelarut senyawa, khususnya senyawa polar. Karena merupakan senyawa polar, pelarutan air dengan alkohol dapat menyebabkan terjadinya iritasi ringan apabila tersentuh. Hal ini terlihat dari hasil percobaan bahwa pemasukan jari ke dalam campuran larutan fenol yang ditambah dengan air menyebabkan jari berubah warna menjadi putih dan lebih keras. Setelah beberapa saat, tangan juga terasa lebih mati rasa dan kemudian menjadi kesemutan. Hal ini menunjukan bahwa terjadi vasokonstriksi dan kekurangpekaan pada saraf sensoris. Pada larutan fenol + alkohol, tidak terjadi perubahan warna yang terlihat namun jari terasa sedikit mati rasa dan kesemutan. Ketika jari dimasukan ke dalam larutan berisi fenol dan gliserin serta fenol dan minyak olivarium, tidak terasa adanya perubahan klinis namun ketika jari dikeluarkan dari botol, jari terasa hangat. Hal ini menunjukan bahwa sifat fenol berupa keratolisis dan vasokonstriktif tidak terasa akibatnya apabila fenol dicampur degan gliserin dan minyak olivarium.
Percobaan kaustika bertujuan untuk mengetahui dampak dari pemberian larutan, khususnya asam dan basa pekat, terhadap kulit dan mukosa (usus) mencit yang sudah terlebih dahulu disuntik dengan urethan. Urethan secara permanen menghilangkan kesadaran mencit dengan tetap mempertahankan fungsi fisiologis normalnya. Tujuan percobaan ini adalah mengetahui pengaruh berbagai larutan pada mukosa kulit yang teramati melalui elastisitas dan perubahan kulit. Elastisitas pada kulit diukur dengan menusuk permukaan kulit yang ditetesi dan kemudian diangkat. Apabila kulit dapat terangkat, maka ketidakelastisitasannya positif sedangkan apabila kulit dapat terangkat normal, ketidakelastisitasannya adalah negatif. Pada penetesan kulit dengan asam pekat seperti H2SO4, HCl dan HNO3, kulit terasa menjadi keras dan tidak dapat terangkat. Hal ini kemungkinan terjadi akibat menggumpalnya sel-sel protein pada permukaan kulit karena penetesan asam pekat. Perubahan lain yang terlihat adalah perubahan warna kulit. Penetesan H2SO4 pekat menyebabkan warna kulit menjadi warna putih, HCl pekat menyebabkan kulit menjadi berwarna coklat, sedangkan HNO3 pekat menyebabkan kulit menjadi berwarna kekuningan. Perubahan warna ini erat kaitannya dengan pigmentasi dan nekrosa sel. Pada sisi lain, penetesan fenol 5% tidak menyebabkan perubahan yang terlalu signifikan pada permukaan kulit tikus. Fenol diketahui menjadi penyebab iritan apabila dicampur dengan air atau alkohol, namun pada percobaan ini dampak fenol pada kulit tidak jelas terlihat secara makroskopis jika dibandingkan dengan pengaruh asam atau basa kuat. Penetesan basa kuat (NaOH) tidak mempengaruhi keelastisan kulit namun menyebabkan kulit terlihat lebih basah dan mengeluarkan cairan. Hal ini mungkin terjadi karena basa kuat menyebabkan lisisnya sel sehingga cairan keluar dari sel. Perubahan warna yang terlihat adalah kulit menjadi berwarna merah bata. Tidak jauh berbeda, chloroform pada kulit juga menyebabkan terjadinya pengeluaran cairan walaupun tidak terlalu jelas terlihat. Kejelasan mengenai elastisitas dapat terlihat jelas pada gambar satu sampai lima. Pada gambar 1 terlihat jarum yang telah ditusukan sangat susah diangkat. Pada gambar kedua (penetesan HCl pekat), kulit terasa keras ketika ditusuk dan sangat susah diangkat, begitu pula halnya dengan gambar ketiga (HNO3 pekat). Pada penetesan fenol pekat dan NaOH pekat, kulit masih dapat ditarik dengan mudah oleh jarum.
Mukosa usus bersifat lebih sensitif dibandingkan dengan permukaan kulit sehingga penetesan cairan iritan yang pekat dapat menunjukan gejala klinis yang lebih cepat dan jelas. Penetesan asam pekat pada membran mukosa usus menyebabkan usus dengan cepat berubah warna menjadi putih. Usus terlihat menjadi lebih keras dan mengkerut. Hal ini cukup jelas menunjukan pengaruh asam kuat pada terjadinya penggumpalan protein. Penetesan fenol, NaOH dan kloroform menyebabkan terjadinya pengeluaran cairan dari mukosa. Hal ini menunjukan bahwa terjadi lisis pada sel sehingga cairan dari dalam sel keluar ke permukaan.
Kesimpulan
            Zat irritansia dapat menimbulkan berbagai kerusakan pada kulit dan mukosa. Zat yang bersifat asam kuat dapat mendenaturasikan protein dan basa kuat dapat melisiskan protein. Ada pula senyawa yang menimbulkan rubefaksi, misalnya menthol, fenol dan kloroform. Zat yang dapat melindungi dari irritansia disebut protektiva. Zat ini dapat bersifat menyerap zat racun (contoh: karbon aktif), membentuk lapisan (contoh: gom arab), mempresipitasikan protein (contoh: tannin) dan melunakkan, menutup serta melindungi kulit (contoh: minyak olivarum). Pencampuran zat irritansia denga protektiva akan menyebabkan efek sakit yang timbul lebih lambat.


Daftar pustaka
Ariens EJ, Mutschler E, Simonis A. M. 1978. Pengantar Toksikologi Umum.
Wattimena YR, Widianto MB, Sukandar EY, penerjemah; Padmawinata K,
editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari:
Allgemeine Toxikologie, Eine Einfuhrung.
 Ansel, Howaed C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Ed ke-4. Jakarta: UI
Press
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar