Senin, 20 Mei 2013

Rumah Sehat?


 Mau nge-share ajaaa nihhh,,kemarin pernah dapat tugas tentang bagaimana membangun rumah sehat disekitar peternakan ayam...yaaa smua jg pada tauu kan,,betapa tidak sehatnya lingkungan perumahan yang berada disekitar peternakan...
nah, lewat tugas ini saya ditantang untuk memikirkan konsep rumah sehat walaupun letaknya di sekitar peternakan...

check this out!! :)

PENDAHULUAN

   Rumah memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, yaitu sebagai tempat berlindung dan tempat dimana manusia melakukan sebagian besar aktivitas dan rutinitas hidupnya. Kondisi rumah dapat mempengaruhi perkembangan fisik dan mental penghuninya, sehingga kondisi rumah dan lingkungannya yang sehat akan memberikan lingkungan yang nyaman bagi penghuninya (Fitriani 2007).
   Kesehatan dan sanitasi lingkungan merupakan bagian dari ilmu kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada usaha preventif melalui perbaikan faktor lingkungan agar manusia terhindar dari berbagai penyakit dan gangguan kesehatan. Kesehatan lingkungan adalah karakteristik dari kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan. Upaya sanitasi lingkungan dilakukan melalui pengawasan lingkungan fisik, biologis, dan sosial ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia, dimana lingkungan yang berguna akan ditingkatkan dan diperbanyak, sedangkan yang merugikan diperbaiki atau dihilangkan (Entjang 2000).
   Lingkungan dengan sanitasi yang buruk akan berdampak negatif terhadap kesehatan manusia. Lingkungan yang tidak bersih merupakan sumber utama dari penyebaran penyakit. Oleh karena itu untuk menghindari resiko munculnya berbagai penyakit akibat kondisi lingkungan yang buruk, maka lingkungan harus selalu terjaga sanitasinya, khususnya rumah dan lingkungan sekitar (Prasetyanto 2011).
   Kebutuhan masyarakat akan protein hewani khususnya daging ayam terus meningkat. Kebutuhan daging ayam masyarakat Indonesia pada tahun 2012 adalah 1.9 triliun ekor dan diprediksi meningkat menjadi 2.2 triliun ekor pada tahun 2013 (Sugiyono 2012). Hal tersebut mengakibatkan peternakan unggas dijalankan begitu ekstensif sehingga semakin mendekati pemukiman masyarakat dan seringkali menimbulkan konflik dengan masyarakat akibat dampak negatif yang ditimbulkan seperti penularan penyakit, pencemaran lingkungan (tanah, air, dan udara), bau tidak sedap, dan lain lain.
   Penularan penyakit dari peternakan ke masyarakat sekitar menjadi perhatian luas karena kemunculan banyak penyakit zoonotik baru. Penyakit zoonotik didefinisikan oleh World Health Organization (WHO) sebagai penyakit-penyakit yang ditularkan secara alamiah antara hewan dan manusia (Shakespeare 2009). Hampir 75 persen penyakit pada hewan merupakan zoonosis dan sekitar 75 persen penyakit infeksius baru yang muncul (emerging infectious diseases/EID) pada manusia adalah zoonosis (Wolfe et al. 2005). Hal tersebut menunjukkan peternakan dapat menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat sekitar jika tidak dikelola secara baik. Oleh karena itu, perlu dicari solusi bagaimana menciptakan konsep rumah sebagai tempat tinggal yang nyaman dan sehat walaupun memiliki jarak berdekatan dengan peternakan ayam.
Tujuan pembuatan makalah ini adalah memaparkan konsep rumah sehat yang berada disekitar peternakan ayam sehingga dapat membantu usaha preventif terhadap penyebaran penyakit menular kepada manusia dan menciptakan kondisi lingkungan yang sehat sebagai tempat tinggal.

TINJAUAN PUSTAKA

Rumah Sehat
   Enjang (2000) mendefinisikan rumah sehat sebagai rumah yang memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikologis manusia, terhindar dari penyakit menular, dan terhindar dari kecelakaan. Hal tersebut sejalan dengan kriteria rumah sehat menurut American Public Health Association (APHA), yaitu:
a.  Memenuhi kebutuhan dasar fisik
1.  Mempertahankan temperatur lingkungan yang kondusif untuk beraktivitas dalam rumah.
2.  Memperoleh sinar matahari yang cukup dan menghindari lingkungan rumah yang lembab karena dapat menjadi media yang baik bagi agen penyakit.
3.  Memiliki ventilasi yang baik sehingga pertukaran udara terjadi dengan lancar.
4.  Adanya lapangan terbuka untuk berolah raga, rekreasi dan tempat anak-anak bermain.
b.  Memenuhi kebutuhan dasar psikologis.
1.  Ketentuan-ketentuan tentang privacy yang cukup bagi setiap individu
2.  Kebebasan dan kesempatan berinteraksi antar penghuni dan lingkungan sekitar
3.  Fasilitas–fasilitas yang memungkinkan pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan tanpa menyebabkan kelelahan fisik dan mental.
c.  Melindungi dari penyakit
1.  Penyediaan air yang sehat bagi setiap rumah.
2.  Ketentuan tentang perlindungan air minum dari pencemaran.
3.  Ketentuan tentang fasilitas pembuangan kotoran dan limbah untuk mengurangi bahaya penyebaran penyakit.
4.  Menghindarkan adanya rodensia yang bisa menularkan penyakit.
5.  Letak rumah tidak berdekatan dengan pabrik atau peternakan yang dapat menjadi sumber pencemaran dan penyakit menular.
d.  Melindungi dari kecelakaan
1.  Membuat konstruksi rumah yang kokoh untuk menghindari bangunan ambruk.
2.  Menghindari bahaya kebakaran.
3.  Menghindarkan bahaya-bahaya lalu lintas kendaraan.
   Parameter-parameter tersebut juga sejalan dengan aturan Rumah Sehat di Indonesia yang diatur dalam Kepmenkes Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Parameter yang diatur Kepmenkes tersebut adalah bahan bangunan, komponen dan penataan ruang, pencahayaan, kualitas udara dan ventilasi. Kualitas udara yang disyaratkan adalah suhu udara 18-30oC, kelembaban udara 40-70 %, kadar gas SO2 kurang dari 0,10 ppm/24 jam, konsentrasi gas CO tidak melebihi 100 ppm/8 jam, dan konsentrasi gas formaldehid tidak melebihi 120 mg/m3.

Peternakan Unggas
Tata cara budidaya ayam baik pedaging, petelur, maupun bukan ras (buras) telah diatur pemerintah melalui Kepmentan No 420/Kpts/OT.210/7/2001, 424/Kpts/OT.210/7/2001, dan 425/Kpts/OT.210/7/2001 tentang Pedoman Budidaya Ternak (Good Farming Practices) Ayam Bukan Ras (buras), pedaging, dan petelur yang Baik. Berikut adalah syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam membangun peternakan unggas:
a.    Penyiapan lokasi
   Lokasi tempat pemeliharaan diupayakan agar tidak terlalu dekat dengan bangunan rumah dan memiliki sirkulasi udara yang baik serta mendapatkan pencahayaan matahari secara maksimal, sehingga kondisi lokasi dapat terpelihara dalam kondisi kering. Penataan letak bangunan kandang dan bukan kandang didalam lokasi usaha peternakan ayam hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. jarak antara tiap-tiap kandang minimal 1 kali lebar kandang dihitung dari tepi atap kandang
2.  jarak terdekat antara kandang dengan bangunan lain bukan kandang minimal 25 m;
3. bangunan-bangunan kandang, kandang isolasi, dan bangunan lainnya harus ditata supaya aliran air, saluran pembuangan limbah, udara, dan penghantar lain tidak menimbulkan pencemaran penyakit.
b.    Pembuatan kandang.
   Pemeliharaan unggas di pemukiman harus dilakukan secara intensif atau semi-intensif, sehingga keberadaan kandang menjadi suatu hal yang mutlak. Ternak unggas harus dikandangkan dan tidak dibenarkan berkeliaran bebas dan kandang unggas harus terpisah dari rumah. Pada prinsipnya penggunaan kandang harus disesuaikan dengan tujuan pemeliharaan dan dipastikan ayam tidak berkeliaraan. Kandang dapat dibuat disekitar lokasi pekarangan rumah bagian belakang yang masih memungkinkan untuk lokasi bangunan kandang. Disamping itu juga dapat dibangun kandang koloni pada lokasi yang jauh dari perumahan yang dapat menampung ternak dari beberapa anggota masyarakat. Sebelum unggas dimasukan kedalam kandang, dilakukan penyemprotan dan desinfeksi terhadap kandang dan lokasi sekitarnya.
c.    Manajemen pemeliharaan.
   Untuk meminimalkan kemungkinan munculnya berbagai macam penyakit maka pemeliharaan unggas dipemukiman harus dilakukan secara tertib dan memenuhi persyaratan teknis minimal, sehingga tatacara pemeliharaan yang baik dapat diaplikasikan terutama menyangkut masalah biosekuriti, higiene, sanitasi dan pencemaran lingkungan. Dalam upaya pencegahan pencemaran lingkungan, diperlukan perhatian khusus terhadap beberapa hal berikut :
a. Mencegah timbulnya erosi serta membantu penghijauan di areal peternakan.
b. Menghindari timbulnya erosi dan gangguan lain yang berasal dari peternakan yang dapat mengganggu lingkungan berupa bau busuk, suara bising, serangga, tikus serta pencemaran air sungai/ air tanah (sumur).
c. Setiap usaha peternakan ayam agar membuat unit pengolahan limbah peternakan (padat, cair dan gas) yang sesuai dengan kapasitas produksi limbah yang dihasilkan.
d. Setiap usaha peternakan ayam membuat tempat pembuangan kotoran dan penguburan bangkai.
Limbah Usaha Peternakan Ayam
     Usaha peternakan ayam menghasilkan limbah berupa  feses, bau kurang sedap, serta air buangan. Air buangan yang dimaksud berasal dari cucian tempat pakan, tempat minum ayam, dan lain-lain. Jumlah air buangan ini sedikit dan biasanya langsung terserap ke dalam tanah sehingga tidak berpengaruh besar terhadap lingkungan sekitar. Air buangan mempunyai nilai pH netral (±7), kandungan senyawa organik rendah yang ditunjukkan dengan nilai Bio Oxygen Demand (BOD) 15,32-68,8 dan Chemical Oxygen Demand (COD) 35,12-92,12  (Rachmawati 2000).
            Ada dua model pemeliharan ayam, yaitu pada pemeliharaan ayam petelur biasanya menggunakan sistem baterai, yakni ayam dipelihara dalam kandang-kandang terpisah dan ditempatkan agak tinggi dari permukaan tanah, dengan dasar kandang berlubang-lubang sehingga  feses akan jatuh dan bertumpuk di bawah kandang. Sebaliknya, pada pemeliharaan ayam pedaging biasanya menggunakan sistem litter, yakni ayam-ayam dipelihara dalam kandang dengan batas yang disekat-sekat dan lantai kandang adalah berupa tanah atau beton yang dilapisi dengan sekam sehingga feses ayam akan bercampur dengan sekam tersebut dan secara periodik diangkat.
Rataan produksi buangan segar (feses) ternak ayam petelur adalah 0,06 kg/hari/ekor dengan kandungan bahan kering 26 persen, sedangkan ayam pedaging menghasilkan 0,1 kg/hari/ekor dengan kandungan bahan kering 25 persen. Feses ayam terdiri dari sisa pakan dan serat selulosa yang tidak tercerna. Feses ayam mengandung protein (nitrogen), karbohidrat, lemak, dan senyawa organik lainnya. Komposisi feses ayam sangat bervariasi bergantung pada jenis ayam, umur, keadaan individu ayam, dan makanan (Prasetyanto 2011).
Sumber pencemaran usaha peternakan ayam berasal dari feses ayam yang berkaitan dengan unsur nitrogen dan sulfida yang terkandung dalam feses tersebut, yang pada saat penumpukan feses atau penyimpanan terjadi proses dekomposisi oleh mikroorganisme membentuk gas amonia, nitrat, dan nitrit serta gas sulfida. Gas-gas tersebutlah yang dapat menyebabkan bau (NRC 2003). Kandungan gas amonia yang tinggi dalam feses juga menunjukkan kemungkinan kurang sempurnanya proses pencernaan atau protein yang berlebihan dalam pakan ternak, sehingga tidak semua nitrogen diabsorbsi sebagai asam amino, tetapi dikeluarkan sebagai amonia dalam feses.
   Feses ayam sudah sejak lama dimanfaatkan sebagai pupuk di bidang pertanian. Pengalaman empiris membuktikan bahwa feses ternak sangat cocok dan baik untuk kesuburan tanah pertanian. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya penanganan feses ternak dengan baik dan optimal agar tidak menyebabkan bau yang menyengat, dan masih tetap dapat dimanfaatkan sebagai pupuk.

Dampak Peternakan Ayam
     Seperti disebutkan sebelumnya, dampak dari usaha peternakan ayam terhadap lingkungan sekitar terutama adalah berupa bau yang dikeluarkan selama proses dekomposisi kotoran ayam. Bau tersebut berasal dari kandungan gas amonia yang tinggi dan gas hidrogen sulfida, (H2S), dimetil sulfida, karbon disulfida, dan merkaptan. Senyawa yang menimbulkan bau ini dapat mudah terbentuk dalam kondisi anaerob seperti tumpukan kotoran yang masih basah. Senyawa tersebut dapat tercium dengan mudah walau dalam konsentrasi yang sangat kecil. Untuk H2S, kadar 0,47 mg/l atau dalam konsentrasi part per million (ppm) di udara merupakan batas konsentrasi yang masih dapat tercium bau, sedangkan untuk dimetil sulfida konsentrasi 1,0 ppm di udara mulai tercium bau busuk. Untuk amonia, kadar terendah yang dapat terdeteksi baunya adalah 5 ppm. Akan tetapi, kepekaan seseorang terhadap bau ini sangat tidak mutlak, terlebih lagi bau yang disebabkan oleh campuran gas. Pada konsentrasi amonia yang lebih tinggi di udara dapat menyebabkan iritasi mata dan gangguan saluran pernapasan pada manusia dan hewan itu sendiri (Praja 2006).
   Selain berdampak negatif terhadap kesehatan manusia yang tinggal di lingkungan sekitar peternakan, bau kotoran juga berpengaruh terhadap ternak dan dapat menyebabkan produktivitas ternak menurun. Pengelolaan lingkungan peternakan yang kurang baik dapat menyebabkan kerugian ekonomi bagi peternak itu sendiri, karena gas-gas tersebut dapat menyebabkan produktivitas ayam menurun, sedangkan biaya kesehatan akan semakin meningkat, yang menyebabkan keuntungan peternak menipis. Biaya kesehatan meningkat karena ayam-ayam tersebut menurun imunitasnya terhadap penyakit-penyakit yang sering timbul akibat polusi udara oleh amonia, seperti penyakit cronic respiratory disease (CRD), yaitu penyakit saluran pernapasan menahun, dan ayam lebih peka terhadap virus Newcastle disease (ND) yang menyebabkan ayam mudah terkena penyakit ND (Rachmawati 2000).
   Walaupun dampak yang ditimbulkan akibat dari cemaran bau busuk belum dirasakan dalam jangka waktu pendek, namun dalam jangka panjang dapat menyebabkan munculnya berbagai penyakit sehingga berakibat menurunnya produktivitas masyarakat. Banyaknya lalat di lingkungan sekitar peternakan juga merupakan dampak negatif lain dari keberadaan usaha peternakan ayam. Kebiasaan lalat yang suka mencari tempat-tempat yang berbau busuk menyebabkan kandang ayam banyak dihinggapi lalat untuk berkembang biak. Lalat sendiri diketahui merupakan vektor dari berbagai penyakit, sehingga dapat menjadi satu ancaman yang perlu diperhatikan secara serius.

Ancaman peternakan ayam terhadap kesehatan masyarakat
              Banyaknya usaha peternakan ayam yang berada di lingkungan masyarakat dirasakan mulai mengganggu warga sekitar peternakan, karena masih banyak peternak yang belum peduli terhadap manajemen pengolahan produk buangan dari peternakannya. Limbah peternakan ayam berupa feses, sisa pakan, dan air yang berasal dari pembersihan ternak seringkali menimbulkan pencemaran lingkungan masyarakat di sekitar lokasi peternakan tersebut. Penyebab terbesar timbulnya bau dari peternakan berasal dari berbagai komponen yang meliputi NH3 dan H2S (NRC 2003). Senyawa yang menimbulkan bau ini dapat mudah terbentuk dalam kondisi anaerob seperti tumpukan kotoran yang masih basah. Senyawa tersebut tercium dengan mudah walau dalam konsentrasi yang sangat kecil.                    Gas H2S banyak ditemukan di dataran rendah yang tertutup dan memiliki ventilasi yang buruk. Gas H2S pada konsentrasi yang rendah dapat menyebabkan iritasi mata, batuk, sesak nafas, iritasi hidung, dan tenggorokan. Gas H2S pada konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan pusing, mual, muntah, pingsan, koma bahkan kematian (OSHA 2005). Gas H2S yang dihasilkan dari proses penguraian zat makanan sisa pencernaan dilakukan oleh mikroba perombak protein. Gas tersebut toksik bagi manusia dan hewan serta dapat meningkatkan kerentanan penyakit dan dapat mengganggu efisiensi aktivitas para pekerja yang berada di sekitar peternakan karena bau yg ditimbulkan (Martin et al. 2004). Selain gas H2S yang dihasilkan, kotoran ayam juga diyakini dapat menyebabkan emisi NO secara langsung (NRC 2003). Nitrogen monoksida (NO) dapat mengalami oksidasi menjadi NO2 (Pohan 2002). Sehingga secara tidak langsung kotoran ayam dapat menghasilkan emisi gas NO2 melalui proses denitrifikasi.
   Kandungan debu di peternakan unggas pada umumnya meliputi partikel tanah, sisa pakan, rambut dan bulu, kotoran kering, bakteri, dan jamur. Kandungan debu di peternakan unggas umumnya berasal dari pakan sedangkan kandungan partikel tanah tersebut menentukan konsentrasi debu. Menurut Leeson dan Summers (2000), rataan kadar debu pada peternakan unggas dewasa sekitar 2-5 mg/m3 (2.000-5.000 μg/m3), dimana pada kadar tersebut berkontribusi pada masalah pernafasan pada peternakan dan sekitarnya.
            Menurut Prasetyanto (2011), kondisi lingkungan (suhu udara, kelembaban udara, arah dan kecepatan angin, dan ketinggian lokasi), kondisi kandang (bahan atap, sistem kandang) dan kondisi sekitar kandang (areal pertanian, keberadaan tanaman di sekitar kandang) dapat mempengaruhi kadar H2S, NO2, dan debu di sekitar peternakan yang merupakan suatu ancaman serius bagi kesehatan manusia.

PEMBAHASAN

     Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih, dan sebagainya (Notoadmojo 2003). Sanitasi lingkungan dapat pula diartikan sebagai kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan dan mempertahankan standar kondisi lingkungan yang mempengaruhi kesejahteraan manusia. Dalam program Indonesia Sehat 2010, perilaku yang diharapkan adalah perilaku yang proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah risiko terjadinya penyakit, melingdungi diri dari ancaman penyakit dan berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat (Fitriani 2011). Dengan perilaku masyarakat sekitar peternakan ayam yang demikian, diharapkan tercipta suatu lingkungan rumah yang kondusif bagi terwujudnya keadaan sehat yaitu lingkungan yang bebas dari polusi, tersedianya air bersih bebas pencemaran, dan sanitasi lingkungan yang memadai.
Keberadaan peternakan ayam di sekitar masyarakat dapat membawa dampak positif yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar, namun dapat pula bernilai negatif yaitu justru menimbulkan resiko yang merugikan masyarakat karena adanya limbah peternakan. Meskipun peternakan ayam memiliki dampak negatif bagi masyarakat sekitar, peternakan ayam terbukti telah membawa manfaat ekonomi yang sangat besar seperti menyediakan banyak lapangan pekerjaan dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kondisi demikian mengakibatkan pilihan untuk menutup suatu peternakan dirasa bukanlah merupakan suatu keputusan yang tepat karena dengan demikian akan menghilangkan sumber penghasilan masyarakat yang bergantung pada peternakan ayam tersebut, namun apabila tetap dibiarkan akan menimbulkan protes dari masyarakat sekitar yang merasa terganggu. Oleh karena itu, langkah yang paling bijaksana adalah dengan berusaha mengolah limbah-limbah dari peternakan ayam yang semula berbahaya dan merugikan masyarakat menjadi tidak berbahaya dan justru menguntungkan masyarakat.
   Diketahui bahwa limbah utama peternakan unggas adalah feses. Selain menimbulkan bau yang kurang sedap, feses yang menumpuk dapat menjadi sumber penularan penyakit dan berperan dalam pemanasan global. Dampak negatif feses seperti bau yang dapat mengundang kehadiran lalat, dapat dihilangkan dengan membubuhkan suatu senyawa pada pakan sebagai imbuhan dengan tujuan meningkatkan efisiensi pakan, sehingga mengurangi sisa protein yang tidak tercerna dan diharapkan dapat mengurangi terbentuknya gas yang berbau dalam proses penumpukan kotoran. Pengelolaan dapat pula dilakukan dengan menambahkan suatu senyawa pada kotoran  ayam yang dapat mengurangi bau yang ditimbulkan. Contoh senyawa yang dapat digunakan untuk mengurangi bau yang ditimbulkan dari kotoran ayam adalah zeolit yang ditambahkan sebagai imbuhan pakan dan dapat pula ditambahkan pada kotoran. Selain itu dapat pula diberi penambahan kaporit dan kapur pada kotoran ayam. Selain penambahan senyawa, pada kotoran ternak dapat pula diberikan sejenis mikroorganisme seperti suplementasi probiotik starbio dan penggunaan Effective microorganism (EM4).
Menurut Rachmawati (2000), zeolit dapat digunakan untuk mengurangi pencemaran gas amonia dan H2S pada kotoran ayam. Zeolit mempunyai struktur berongga dengan ukuran pori tertentu yang dapat berisi air atau ion yang dapat dipertukarkan dengan ion-ion lain tanpa merusak stuktur zeolit dan dapat menyerap air, molekul lain, dan gas CO2 dan H2S secara reversible. Penggunaan zeolit dapat pula dikombinasi dengan penambahan klorin pada kotoran sehingga dapat semakin mengurangi konsentrasi gas pencemar. Sifat klorin yang bersifat antiseptik dapat membunuh mikrorganisme yang terdapat dalam feses.
Selain zeolit, senyawa lain yang bisa digunakan adalah kapur. Pada peternakan ayam, kapur dapat digunakan untuk membersihkan lantai kandang, mengeringkan, dan mengurangi bau dari kotoran ayam. Penggunaan kapur pada kotoran ayam selain mengurangi cemaran amonia ke udara, juga menghasilkan pupuk dengan kandungan nitrogen tinggi, karena tidak banyak nitrogen yang hilang sebagai amonia. Kehilangan nitrogen pada kotoran merupakan kerugian bagi para peternak, karena menurunkan kualitas pupuk.
Selain penggunaan senyawa, mikroba juga dapat digunakan untuk mengurangi pembentukan gas amonia dari feses yaitu menggunakan probiotik starbio yang ditambahkan pada pakan ayam. Mikroba ini bersifat proteolitik, sellulitik, dan lignolitik.             Penggunaan mikroba pengurai limbah atau effective microorganism (EM4) juga dapat menurunkan kadar gas amonia dan H2S.
Usaha lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif dari peternakan ayam adalah dengan memanfaatkan kotoran ayam sebagai biogas sehingga diharapkan dapat menimalisasi penumpukan amonia di kandang. Biogas adalah gas yang dihasilkan oleh aktifitas anaerobik atau fermentasi dari bahan-bahan organik salah satunya adalah kotoran ayam. Kandungan utama dalam biogas adalah metana dan karbon dioksida. Metana dalam biogas dapat menghasilkan energi yang lebih besar dengan emisi karbon dioksida yang lebih sedikit.
Saat ini banyak negara maju meningkatkan penggunaan biogas yang dihasilkan dari limbah peternakan. Perbedaan antara biogas sapi dan ayam adalah feses ayam tidak mengandung mikroba tertentu yang secara otomatis berproses membentuk gas bio sehingga perlu proses lebih lanjut dengan cara penambahan ragi yang berisi mikorba starter ke dalam kotoran.
            Penurunan jumlah gas amonia dan H2S akan meminimalisasi gangguan kesehatan yang dapat ditimbulkan oleh gas tersebut pada masyarakat sekitar dan ternak itu sendiri. Selain itu juga akan menurunkan keasaman lingkungan karena gas tersebut akan dioksidasi  dan dalam jangka panjang dapat mengakibatkan hujan asam yang akan merusak hutan, danau, mata air, ekosistem pesisir pantai dan tanah. Dengan konsep demikian diharapkan jumlah gas pencemar dari kotoran ayam dapat menurun sehingga membantu terciptanya rumah sehat di sekitar peternakan ayam. Namun upaya yang terbaik untuk menciptakan rumah sehat adalah dengan membangun rumah yang jauh dari peternakan ayam dan tidak mendirikan peternakan ayam di dekat rumah dengan alasan apapun. Selain itu juga dengan memperhatikan syarat rumah yang baik saat akan mendirikan rumah.

Simpulan

   Limbah peternakan yang dibiarkan menumpuk dapat meningkatkan resiko pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan bagi masyarakat sekitar dan ternak itu sendiri. Rumah sehat di sekitar peternakan ayam dapat dicapai dengan cara mengurangi dampak dari limbah peternakan yakni melalui penambahan senyawa dan mikroba pada kotoran ternak, dan dapat pula dengan memanfaatkan kotoran ayam sebagai biogas. Diharapkan konsep demikian dapat membantu usaha preventif terhadap penyebaran penyakit menular kepada manusia dan menciptakan kondisi lingkungan yang sehat sebagai tempat tinggal.

Daftar Pustaka

[APHA] American Public Health Association’s. 2002. Basic Principles of Healthful Housing. http://www.apha.org [18 Februari 2012]
Entjang. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Fitriani A. 2007. Rumah Sederhana Sehat [skripsi]. Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia
Fitriani S. 2011. Promosi Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu
[Kepmenkes] Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
[Kepmentan] Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 420/Kpts/Ot.210/7/2001 tentang Pedoman Budidaya Ternak Ayam Buras yang Baik (Good Farming Practice). Jakarta: Kementrian Pertanian
[Kepmentan] Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 424/Kpts/Ot.210/7/2001 tentang Pedoman Budidaya Ternak Ayam Pedaging yang Baik (Good Farming Practice) Jakarta: Kementrian Pertanian
[Kepmentan] Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 425/Kpts/OT.210/7/2001 tentang Pedoman Budidaya Ternak Ayam Petelur yang Baik (Good Farming Practice). Jakarta: Kementrian Pertanian
Leeson S, JD. Summers. 2000. Commercial Poultry Nutrition 3rd Ed. Canada: University Books.
Martin RW, JR Mihelcic, & JC Crittenden. 2004. Design and performance characterization strategy using modeling for biofiltration control of odorous hydrogen sulfide. J. Air Waste Manage. Assoc. 54: 834.
Notoadmojo S. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta
[NRC] National Research Council. 2003. Air Emmision from Animal Feeding Operation. Washington DC : National Academy Press
[OSHA] Occupational Safety and Health Administration. 2005. OSHA Fact Sheet. U.S. Department of Labour. www.osha.gov. [18 Februari 2013].

Pohan N. 2002. Pencemaran Udara dan Hujan Asam [Laporan Penelitian]. Medan : Program Studi Tehnik Kimia Universitas Sumatera Utara.

Praja M. 2006. Gas Penyebab Emisi Udara. Yogyakarta : Penerbit Kanisius
Prasetyanto N. 2011.  Kadar H2S, NO2, dan Debu Pada Peternakan Ayam Broiler dengan Kondisi Lingkungan yang Berbeda di Kabupaten Bogor, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor:  Institut Pertanian Bogor
Rachmawati S. 2000. Upaya Pengelolaan Lingkungan Usaha Peternakan Ayam. J wartazoa vol. 9 No. 2 Th. 2000
Shakespeare M.  2009.  Zoonoses.  London: Pharmaceutical Pr.

Sugiyono. 2013. 2013 ini, Konsumsi Daging Ayam Bakal Naik 15.79%. www.livestockreview.com/2013/02/2013-ini-konsumsi-daging-ayam-bakal-naik-15-79/ [18 Februari 2012]

Wolfe ND, Daszak P, Kilpatrick AM, Burke DS. 2005. Bushmeat hunting, deforestation, and prediction of zoonotic disease emergence. J Emerg Infect Dis 11 (12):1822-1827.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar