well, disalah satu bagian koas kami jg terdapat bagian Epidemiologi,,
nah dibagian ini kami dituntut mempraktekkan ilmu dan pengetahuan kami dalam bidang epidemiologi penyakit yang kami dapat teorinya waktu s1.
Dikoas bagian ini, kami harus membuat satu program pengendalian dalam menghadapi suatu penyakit yg sedang mewabah di suatu daerah. hewan dan daerahnya bebas dimana aja,,,,nah, penting untuk diketahui, tugas kami adalah salah satu bentuk simulasi dari fakta dilapangan...memang sebaiknya datanya faktual, namun seperti yg kita ketahui, kadangkala data primer kurang banyak infonya jadi kami membuat simulasi dengan harapan menggambarkan kejadian dilapangan sehingga suatu hari nanti, kelak ketika kami sudah menjadi dokter hewan kami mampu dan memiliki kompetensi untuk membuat suatu program pengendalian penyakit hewan :)
Check this out!! ^^
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hog
cholera
atau disebut juga dengan classical
swine fever (CSF)
merupakan penyakit viral yang sangat kontagius
pada babi dan dapat menyebabkan kerugian ekonomi
yang sangat signifikan, karena angka kesakitan dan kematian yang sangat tinggi
yaitu mencapai 95 – 100%. Berdasarkan
klasifikasi OIE, Clasical Swine Fever (CSF) / hog cholera (HC) termasuk daftar list A (Diarmita 2011). Selain
itu, penyakit ini termasuk dalam 12 jenis penyakit hewan menular strategis di Indonesia yang mendapat prioritas pengendalian dan pemberantasan utama secara
nasional (Dirjennak 2007).
Spesies babi merupakan
satu-satunya spesies yang rentan terhadap virus hog cholera. Penularan
alami terjadi melalui kontak langsung sesama babi dalam suatu peternakan. Virus
di sebarkan melalui cairan mulut, hidung, mata, urin, dan feses. Tingkat
keparahan penyakit ini bervariasi tergantung dari strain virus, umur babi, dan
status kekebalan kelompok. Infeksi akut disebabkan oleh isolat yang sangat
virulen dengan tingkat kematian yang tinggi sehingga penyakit ini juga sangat
merugikan perekonomian masyarakat (Horst et al. 2000). Ternak babi
sendiri merupakan salah satu komoditas unggulan rakyat dan mempunyai nilai
sosial yang sangat tinggi di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Bagi
masyarakat NTT ternak babi sangat penting artinya dalam kaitannya dengan adat
istiadat. Selain itu, jumlah babi yang dimiliki biasanya dijadikan sebagai
ukuran kekayaan seseorang (status sosial). Semakin banyak babi yang dimiliki,
berarti semakin tinggi pula status sosialnya. Oleh karena itu, meskipun
penduduk setempat memiliki pekerjaan utama yang beragam, namun umumnya mereka
tetap memiliki ternak babi sebagai tambahan sumber pendapatan agar dapat
meningkatkan pendapatan keluarga (Pattiselanno 2005).
Dalam era perdagangan bebas dan global, arus lalu lintas perdagangan
hewan dan produknya telah berkembang sangat cepat. Kondisi demikian menyebabkan
risiko penyebaran penyakit hog cholera menjadi meningkat. Penyebaran penyakit hewan menular lebih banyak disebabkan oleh adanya pola lalu lintas hewan dan
produknya ke daerah tujuan yang kurang memperhatikan kajian risiko (risk assessment). Dari aspek kesehatan
hewan, meningkatnya lalu lintas perdagangan hewan dan produknya dapat membawa risiko
masuknya penyakit hewan ke dalam wilayah Indonesia atau dari satu pulau ke
pulau lain di dalam satu negara, yang dapat mengancam sumber daya hewan yang
ada di Indonesia.
Penyakit hog cholera mulai menjadi
perhatian masyarakat luas sejak
terjadi outbreak di Pulau Lembata,
Nusa Tenggara Timur (NTT). Penyakit ini kini tersebar hampir di
seluruh kabupaten dan kecamatan di NTT (Ratundima 2012). Kasus ini diperkirakan muncul sejak
awal Maret 2011, namun peningkatan kasus terjadi pada bulan Juni-Juli di tahun yang
sama (Diarmita 2011).
Propinsi NTT telah melakukan berbagai kegiatan pemberantasan hog cholera pada babi. Kegiatan tersebut antara lain:
surveilans, komunikasi, edukasi, informasi ke seluruh masyarakat (dari sekolah
hingga peternak), vaksinasi, hingga pembuatan peraturan daerah mengenai
penanganan hog cholera
yang berbasis analisa risiko. Sistem pemberantasan yang terpadu ini berdampak
positif terhadap penurunan tingkat kasus hog
cholera (Diarmita 2011).
Secara
ekonomi, penyakit hog
cholera
merupakan penyakit menular terpenting pada babi di seluruh dunia.
Apabila penyakit ini berjangkit maka akan timbul kerugian ekonomi yang tinggi
karena program pengendalian penyakit melalui program imunisasi dan pemusnahan
memerlukan biaya yang besar. Pengendalian wabah hog cholera membutuhkan biaya sampai 2.3 miliyar
USD (CFSPH 2007). Berbagai bentuk pengendalian penyakit hog cholera telah dilakukan oleh
berbagai negara didunia dengan berusaha membentuk peraturan-peraturan yang
berlaku global. Negara
yang bebas hog cholera tidak boleh mengimpor babi, daging babi, maupun bahan
yang berasal dari babi, yang berasal dari negara
atau daerah tertular hog cholera. Program vaksinasi masal secara rutin
telah di lakukan di perusahaan peternakan babi dan peternakan babi
rakyat. Vaksin yang di gunakan berupa vaksin galur C (China), atau
vaksin galur Japanese GPE dan French Triverval.
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menyusun program pengendalian penyakit Hog Cholera untuk menurunkan atau
menekan kasus penyakit ini pada babi di Provinsi Nusa Tenggara
Timur.
II. SIFAT ALAMIAH PENYAKIT
2.1 Riwayat Alamiah Penyakit
Hog cholera adalah penyakit
viral yang sangat menular pada babi, dapat terjadi secara akut, sub akut dan
kronis. Penyakit ini dimanifestasikan dengan adanya pendarahan septicemia
disertai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Penyakit ini tersebar di
seluruh dunia. Negara yang dilaporkan positif hog cholera antara lain Jerman, sebagian negara
di Eropa Timur, Afrika Timur, Afrika Tengah, India, China, Asia Timur dan
Tenggara, Amerika Tengah serta banyak Negara di Amerika Selatan (DAFF 2008). Di
Indonesia, hog cholera dilaporkan
pertama kali tahun 1994 terjadi di pulau Sumatra dan secara bertahap menyebar
ke Jawa pada awal tahun 1995. Distribusi wilayah
tertular Hog Cholera di NTT dari tahun 1998 sampai saat ini menggambarkan
cepatnya penyebaran penyakit antar pulau / area. Kasus pertama kali dilaporkan
di Kabupaten Kupang tahun 1998, selanjutnya pada tahun 2005 hasil uji serologis
positif di Kabupaten Sikka.
2.1.1 Patogenesis
Infeksi alami virus hog cholera (HC) umumnya terjadi
melalui rute oro-nasal. Virus dapat masuk ke
dalam tubuh melalui konjungtiva, mukosa alat genital, atau melalui kulit yang
terluka. Dengan afinitas yang tinggi dari virus HC
terhadap sel-sel system retikuloendotelial, virus HC akan menginfeksi sel-sel
endotel sistem vaskuler (kapiler, vena maupun arteri,
dan pembuluh limfe) hingga mengalami degenerasi hidropis serta nekrotik. Virus
yang melakukan replikasi di dalam tonsil, segera meluas ke jaringan
limforetikuler di sekitarnya. Dengan perantaraan cairan limfe virus menyebar ke
seluruh kelenjar limfe. Di dalam kelenjar limfe virus
memperbanyak diri dan kemudian masuk ke jaringan
limfoid limpa, sumsum tulang, dan kelenjar limfe viseral. Perkembangan virus
yang cepat juga terjadi di dalam sel leukosit, hingga timbul viremia. Pada
penyakit yang berjalan akut sering terjadi pendarahan yang disebabkan gangguan
sirkulasi yang akut oleh proses degenerasi sel-sel endotel pembuluh darah dan
reaksi imunologis.
2.1.2 Epidemiologis
Daerah wabah hog cholera di Indonesia yang telah
ditetapkan berdasarkan SK. Mentan No. 888/ Kpts/TN. 560/9/97 adalah Provinsi
Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Bali,
Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Provinsi Nusa Tenggara
Timur (Utami 2009).
2.1.3 Gejala Klinis
Hewan yang terinfeksi virus hog cholera memperlihatkan
gejala klinis antara lain: lesu, tidak aktif, malas bergerak dan gemetar. Nafsu
makan menurun hingga hilang, suhu tubuh meningkat sampai 41-42°C selama 6 hari.Jumlah
leukosit dapat turun drastis ketika viremia, yaitu turun dari
9000 menjadi 3000/ml dalam darah (leukopenia). Hewan penderita mengalami
konjungtivitis, dengan air mata berlebihan. Eksudat dapat berupa mukous atau muko-purulen, terlihat
di kelopak mata dan dapat menyebabkan kelopak mata menjadi lengket.
Konstipasi di sertai dengan radang saluran gastrointestinal menyebabkan diare
encer, berwarna kekuningan. Rasa dingin mendorong babi-babi berkumpul (piled-up)
di sudut kandang. Sebelum babi mati pada kulit daerah perut, muka, telinga, dan
bagian dalam dari kaki terlihat eritema. Pada penyakit yang berjalan akut
kematian babi biasanya memakan waktu 10-20 hari. Kasus hog cholera yang
berjalan secara perakut kronik dapat bertahan sampai lebih kurang 3 bulan.
Infeksi virus hog cholera yang terjadi pada masa kebuntingan, di kenal
sebagai late-onset HC, kematian dapat terjadi di antara bulan ke-2
sampai dengan bulan ke-11. Gejala klinis pada kolera late-onset ini
meliputi depresi dan anoreksia yang terjadi secara lambat, suhu tubuh normal,
konjungtivitis, dermatitis dan gangguan saat berjalan.
2.1.4 Diagnosis
Diagnosis hog
cholera di lapangan dapat di tentukan berdasarkan anamnesa, gambaran
klinis, dan pemeriksaan pasca mati. Utami (2009) menyatakan bahwa pada
pemeriksaan pasca mati perlu diperhatikan adanya gambaran terutama perdarahan
kelenjar limfe, ginjal dan infark limpa yang patognomonis serta adanya button
ulcer di berbagai bagian usus besar. Sebagai diagnosis banding perlu di
perhatikan African swine fever (ASF), salmonellosis septik,
pasteurellosis (septisemia epizootika), streptokokosis dan erisipelas.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan meliputi deteksi antigen
virus, isolasi virus. Antigen virus salah satunya dapat diketahui dengan teknik
antibodi fluoresent metode langsung (direct FAT) dan PCR.
Gambar 1 Lesio postmortem pada ginjal (A
multiple ptechie di cortex ginjal dan B infark
yang dikelilingi oleh hemoragi).
2.2 Mata Rantai
Infeksi
2.2.1 Agen
etiologis
Virus hog cholera termasuk ke dalam famili Flaviviridae, genus Pestivirus. Penyakit virus ini sangat infektif dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi dan menyerang alat pernafasan dan pencernaan. Virus HC berbentuk bundar dengan
diameter berkisar antara 40-50 nm, mempunyai nucleocapsid berbentuk hexagonal berukuran
sekitar 29 nm, dan mengandung material genetik RNA berbentuk single stranded
dan polarity positif (Tarigan et al. 1997).
Gambar 2 Struktur Virus Hog Cholera (VHC).
Virus Hog Cholera merupakan virus RNA utas tunggal beramplop dengan inti
isometrik yang di kelilingi oleh membran/capsid (Utami 2009).
Virus hog cholera termasuk virus yang resisten terhadap lingkungan yang
buruk. Akan tetapi viabilitasnya sangat tergantung pada media dimana virus
tersebut berada(Tarigan et al. 1997). Menurut OIE (2009), Virus ini akan inaktif pada suhu pemanasan 65.5°C
selama 30 menit atau pada suhu 71°C selama satu menit. Virus ini dapat bertahan
selama beberapa bulan pada daging yang di simpan di lemari pendingin, atau
selama bertahun-tahun pada daging beku. Virus juga stabil dalam kisaran pH yang
panjang, antara pH 4–11 atau pada pH
5-10. Virus ini dengan cepat akan inaktif pada pH <3.0 atau pH >11.0. Karena selubungnya mengandung
lipid, virus sangat rentan terhadap pelarut lemak seperti ether, chloroform dan
ß-propiolactone (0.4%), serta detergent seperti desoxycholate, nonidet P40 dan
saponin (OIE 2009).
2.2.2 Sumber/Reservoir
Agen penyakit dapat ditemukan di darah, sekresi, dan ekskresi (discharge oronasal dan lakrimal, urin,
feses, dan semen) serta jaringan dari hewan sakit atau hewan mati,
termasuk daging. Virus juga menetap di dalam anak babi yang terinfeksi secara
kongenital selama 6-12 bulan (OIE 2009). Virus ini juga dapat masuk ke suatu peternakan
bersamaan dengan masuknya hewan muda yang secara klinis tampak
sehat, namun sesungguhnya sedang dalam stadium inkubasi penyakit atau bersama
babi bunting yang terinfeksi penyakit hog cholera.
2.2.3 Jalur Masuk
Virus menular dari ternak yang satu ke ternak yang lainnya dengan cara
masuk ke dalam tubuh babi melalui rute oronasal. Babi akan terinfeksi hog
cholera apabila memakan daging babi atau produk olahan asal daging babi yang
terinfeksi oleh virus hog cholera.
Fetus dari babi yang sedang bunting juga dapat terinfeksi di dalam uterus induk
babi dan virus akan menetap di dalam fetus tersebut selama beberapa bulan
lamanya (OIE 2011). Kondisi ini menyebabkan embrio atau janin yang dilahirkan akan
mati, lemah atau cacat. Sedangkan fetus yang dilahirkan dengan sehat akan
bertindak sebagai sumber penularan selama berbulan-bulan, sampai babi itu
sendiri menjadi sakit.
2.2.4 Cara keluar
Menurut OIE
(2011), virus akan keluar bersama dengan saliva, sekresi nasal, urin, dan feses
yang keluar dari dari babi terinfeksi. Babi yang sembuh, akan tetapi belum membentuk antibodi
protektif cukup, masih akan menjadi sumber penyakit bagi hewan lain. Virus juga
berada pada daging babi dan produk olahan daging babi yang terinfeksi hog
cholera.
2.2.5 Cara
Penularan (Transmisi)
Cara
penularan bisa dengan kontak langsung (sekresi, ekskresi, semen, dan
darah) ataupun tidak langsung (kandang,
peralatan kandang, pakaian, dan kendaraan kandang). Namun,
penularan yang paling sering terjadi adalah melalui kontak langsung dengan
hewan penderita (OIE 2011). Penularan juga bisa terjadi secara horizontal
ataupun vertikal, yakni dari induk kepada fetus yang dikandung (Tarigan et al. 1997)
Babi yang sakit akan
menyebarkan virus terutama melalui sekresi oronasal dan lakrimal (Tarigan et al. 1997). Penularan juga bisa
terjadi apabila babi diberi makan dengan sisa dapur yang mengandung daging babi
tercemar virus hog cholera tanpa dimasak terlebih dahulu.
2.2.6 Inang Rentan
Satu-satunya hewan yang rentan terinfeksi penyakit ini adalah babi yang di pelihara
dengan cara masih secara sederhana, seperti diberi makan dengan sisa dapur yang
mengandung produk daging babi (Tarigan et
al. 1997). Babi hutan juga merupakan hewan yang rentan
terinfeksi oleh virus hog cholera (OIE 2009).
2.2.7 Determinan Penyakit
Faktor-faktor yang mempengaruhi
kejadian suatu penyakit disebut sebagai determinan penyakit. Faktor tersebut
meliputi determinan primer, sekunder, intrinsik, ekstrinsik, dan determinan
yang berhubungan dengan host, agen serta lingkungan. Determinan faktor resiko
penyakit hog cholera dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel
1 Determinan primer dan determinan sekunder dari penyakit hog cholera
Determinan primer
|
Determinan intrinsik
|
Determinan ekstrinsik
|
Unsur hidup
|
Unsur tidak hidup
|
Genetik persisten (carier-sow syndrome)
Kekebalan inang
|
Virulensi strain Hog Cholera Virus pada
Arthropod (vektor nyamuk Culex sp.)
|
Feses, pakan, peralatan kandang (fomit), lingkungan kandang
|
Determinan sekunder
|
Determinan intrinsik
|
Determinan ekstrinsik
|
Umur babi
Stress
Nutrisi
Status imun populasi
|
Manajemen pemeliharaan
Stressor
Sanitasi peternakan
Biosekuriti
Iklim
|
III. RANCANGAN SURVEI
KEBERADAAN PENYAKIT HOG CHOLERA DI KABUPATEN LEMBATA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
3.1 Tujuan
Tujuan dilakukannya survei hog cholera di Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu untuk mengetahui dan mengukur
prevalensi kejadian penyakit dan mengidentifikasi determinan serta faktor
resiko penyakit.
3.2 Faktor Resiko
Hal-hal yang menjadi faktor resiko dari
kejadian penyakit hog cholera yaitu:
·
Manajemen
pemeliharaan dalam kandang (pembatasan area antar babi, pembagian jenis
kandang)
·
Tingkat
pengetahuan peternak terhadap manajemen pemeliharaan babi (pengelolaan pakan
dan litter kandang)
·
Sistem
pelaporan penyakit (diagnosa dini)
·
Populasi
ternak (variasi umur ternak)
·
Biosekuriti
peternakan (sanitasi kandang, kebersihan peralatan, higiene personal,
pengaturan lalu lintas ternak)
·
Status
kesehatan individu/populasi (vaksinasi dan pengobatan)
·
Vektor
(serangga/arthropoda) di lingkungan kandang
3.3 Jenis Data
Data yang diambil dari survei adalah data populasi babi
yang diperoleh dari data sekunder (Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara
Timur) untuk dijadikan populasi acuan dan data prevalensi penyakit hog cholera di Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur.
3.4 Populasi Acuan
Berdasarkan data sekunder yang diperoleh, diketahui
populasi babi Kabupaten Lembata Provinsi Nusa
Tenggara Timur tahun 2011 berjumlah 4729 ekor. Diperkirakan pada tahun 2013
akan berjumlah lebih dari itu. Asumsi prevalensi
kejadian adalah sekitar 50%.
3.5 Metode Dalam Survei
3.5.1 Teknik Penarikan Sampel dan Besaran Sampel
Teknik pengambilan sampel
dilakukan dengan cara menggunakan metode penarikan contoh acak bertingkat. Tahapan
yang pertama kali dilakukan untuk pengambilan sampling ialah menentukan kecamatan yang akan disampel, dengan cara
menentukan interval terlebih dahulu. Penentuan kecamatan yang akan
diambil sampelnya dipilih dengan metode probability
Proportional to Size (PPS) karena sebaran populasi pada tiap kecamatan berbeda,
sehingga dapat dikatakan bahwa setiap kecamatan tidak memiliki kesempatan yang
sama. Dengan menggunakan metode PPS maka tiap kecamatan
akan memiliki kesempatan terpilih berdasarkan jumlah populasinya. Tahap kedua dan ketiga adalah penentuan desa
serta peternak dengan menggunakan metode PPS pula. Tahap terakhir adalah
penentuan babi terpilih untuk diambil sampel darahnya.
Total populasi babi di Kabupaten Lembata berjumlah 4729 ekor dengan prevalensi dugaan maksimal 50%,
sehingga ukuran contoh pada populasi besar yang diperlukan yaitu:
Populasi : 4729 ekor
Prevalensi dugaan : 50%
Asumsi yang digunakan →
Ø
Tingkat kepercayaan : 95%
Ø
Tingkat kesalahan : 5%
Ukuran sampel, dapat
ditentukan dengan perhitungan sebagai berikut:
n
= 4pq/L2
ket: p = prevalensi dugaan = 50% = 0,5
q = 1-p = 1 - 0,5 = 0,5
L = tingkat kesalahan = 5% = 0,05
Jadi n = 4pq/L2
= 4 x (0,5) x (0,5)
(0,05)2
= 400 ekor
Metode PPS digunakan pada 2 tahap (penentuan kecamatan dan desa),
sehingga besar n akhir yang diperlukan untuk dijadikan sebagai ukuran sampel
didapat dikalikan 2. Oleh karena itu,
jumlah sampel n = 400 x 2 = 800. Jadi
sampel yang digunakan (n) sebesar 800 ekor. Dalam hal ini ukuran populasi yang
diinginkan sebanyak 4 desa, sehingga jumlah yang diambil untuk tiap desa adalah
800/4 =200 ekor.
Tahap pertama penentuan kecamatan terpilih untuk
diambil sampelnya menggunakan metode probability
Proportional to Size (PPS):
Jumlah Populasi babi di
Kabupaten Lembata = 4729 ekor
Jumlah kecamatan
yang akan diambil sampel = 2 kecamatan
Selang Interval (K) =
Ukuran populasi
Ukuran contoh yang diinginkan
= 4729
2
= 2364,5 = 2365
Bilangan sampel
yang terdapat di antara selang 1-2365 dipilih dengan
menggunakan rumus =RANDBETWEEN(1, 2365) pada program EXCEL 2007. Bilangan
sampel yang terpilih ialah 309, sehingga
berdasarkan metode acak gerombol, kelompok gerombol pertama berada
di Kecamatan Atadei. Kemudian kelompok selanjutnya ialah Kecamatan Nubetukan.
Tabel 2 Data
populasi babi di Kab.
Lembata Prov. Nusa Tenggara Timur
No
|
Kecamatan
|
Populasi
|
Jumlah Kumulatif
|
1.
|
Atadei
|
1287
|
1287
|
2.
|
Buyasuri
|
952
|
2239
|
3.
|
Nubetukan
|
1347
|
3586
|
4.
|
Omesuri
|
1143
|
4729
|
|
Jumlah
|
4729
|
|
Keterangan: label merah muda merupakan kecamatan terpilih
Setelah mendapatkan 2 kecamatan dengan jumlah total
babi 2634, tahap kedua adalah menentukan desa-desa terpilih dengan memperhitungkan
bahwa jumlah babi di tiap desa berbeda-beda. Desa terpilih ditentukan dengan
menggunakan metode PPS. Dari 2 kecamatan terpilih (Atadei dan Nubetukan)
terdapat 7 desa. Desa yang akan diambil sampelnya hanya 4 desa.
Tahap kedua penentuan desa terpilih untuk diambil sampelnya menggunakan metode probability
Proportional to Size (PPS):
Jumlah desa
yang akan diambil sampel = 4 desa
Selang Interval (K) = 2634
4
= 658,5 Ã 659
Bilangan
sampel yang terdapat di antara selang 1-659 dipilih dengan
menggunakan rumus =RANDBETWEEN(1,659) pada program EXCEL 2007. Bilangan sampel yang terpilih ialah 17, sehingga
berdasarkan metode acak gerombol, kelompok gerombol pertama berada
di Desa Katakeja. Kemudian desa terpilih selanjutnya dapat dilihat di tabel 3.
Tabel 3 Asumsi jumlah ternak pada
tiap desa di Kecamatan Atadei dan Nubetukan
Kecamatan
|
Desa
|
Jumlah Ternak
|
Jumlah Kumulatif
|
Atadei
|
Katakeja
|
385
|
385
|
|
Atakore
|
108
|
493
|
|
Lebaata
|
116
|
609
|
Nubetukan
|
Lewoleba Barat
|
450
|
1059
|
|
Lewoleba Utara
|
458
|
1517
|
|
Lewoleba Selatan
|
106
|
1623
|
|
Pada
|
402
|
2025
|
|
Lewoleba Tengah
|
387
|
2412
|
|
Lewoleba
|
222
|
2634
|
|
Jumlah
|
2634
|
|
Keterangan: label merah muda merupakan desa
terpilih
Sampel darah akan diambil dari semua peternak yang ada
di desa terpilih. Tahap selanjutnya
adalah menentukan jumlah babi yang akan diambil sampel darahnya dari tiap-tiap
desa. Penentuan jumlah babi yang akan
diambil sampel darahnya dari setiap desa adalah dengan metode proposional.
Semakin banyak babi yang ada disuatu desa, semakin banyak pula jumlah babi yang
akan diambil sampel darahnya desa tersebut.
Rumus yang digunakan untuk menentukan jumlah babi yang
diambil dari tiap peternak di satu kecamatan, yaitu:
Jumlah babi untuk tiap peternak (n):
Jumlah
babi 1 desa x 200
Total jumlah babi dari desa terpilih dalam satu kecamatan
Tabel 4 Hasil perhitungan jumlah sampel babi dari
tiap peternakan
Desa
|
Peternak
|
Jumlah
Ternak
|
Perhitungan
|
Jumlah
Sampel
|
Ketakeja
(385 ekor)
Lewoleba Barat
(450 ekor)
Lewoleba Utara
(458 ekor)
Pada
(402 ekor)
|
A
B
C
D
E
A
B
C
D
A
B
C
D
E
A
B
C
D
|
140
70
65
70
40
120
80
95
155
68
95
115
100
80
120
95
100
87
|
140/385(200)
70/385(200)
65/385(200)
70/385(200)
40/385(200)
120/450(200)
80/450(200)
95/450(200)
155/450(200)
68/458(200)
95/458(200)
115/458(200)
100/458(200)
80/458(200)
120/402(200)
95/402(200)
100/402(200)
87/402(200)
|
53
36
42
69
30
41
50
44
35
60
47
50
43
|
3.5.2 Sampel
Sampel
yang diambil adalah darah dari vena jugularis babi yang diambil dari
desa
terpilih.
3.5.3 Pengamatan
dan Pengukuran
Pengamatan
dilakukan dengan cara mengunjungi peternak babi pada desa
yang terpilih dan dilakukan pengisian kuisioner serta
pengambilan sampel darah babi.
3.5.4 Uji
Diagnostik
Pengamatan dan
pengukuran dikumpulkan lewat kunjungan ke peternakan dan melakukan wawancara
dengan peternak dan mengisi kuisioner. Selanjutnya, mengambil sampel berupa
spesimen darah (serum) babi di peternakan babi untuk memudahkan pendataan
survei. Setelah dikoleksi, darah dimasukan kedalam cool box untuk diuji dengan uji diagnostik di laboratorium. Uji
diagnostik yang digunakan yaitu uji PCR.
Pemeriksaan dengan PCR lebih akurat dengan sensitivitas 90-100% dan
spesifisitasnya lebih dari 97% untuk mendeteksi agen penyakit. Keuntungan lain
dari metode ini adalah kemampuan diagnosis dan skrining penyakit menular dengan
cepat. Kemampuan deteksi cepat ini memungkinkan terapi yang efektif lebih cepat
dan berimplementasi pada control infeksi serta intervensi penyebarannya.
3.6 Kuisioner
Kuisioner diisi pada masing-masing tempat pengambilan sampling dengan melakukan wawancara pada
responden yaitu peternak babi.
3.7 Pengolahan Data
Setelah
semua kuisioner telah diisi oleh responden, seluruh
kuisioner yang dikumpulkan ke supervisor untuk dicek ulang apabila ada yang missing. Bila sampel telah diperiksa dan
sejumlah sampel telah memberikan hasil uji positif maka data siap untuk di-input oleh tim
pengolah data. Setelah semua data dimasukkan, dilakukan pemeriksaan data dengan
menggunakan analisis program. Selanjutnya, bila semua prosesing data sudah
lengkap maka siap untuk dianalisa dengan menggunakan software winepiscope 2.0.
3.8 Analisis
Statistik
Pengukuran tingkat
kejadian hog cholera dapat diukur dengan menghitung prevalensi kejadian hog
cholera pada populasi ternak babi. Sedangkan untuk menyidik penyebab penyakit
menggunakan kajian Kohort dengan mengukur derajat asosiasi relative risk dan odds ratio.
3.9 Aspek
Keorganisasian
3.9.1 Aspek Logistik dan
Ketersediaan Personil
Alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan sampel
adalah vacutainer 5ml+EDTA, kapas, alcohol,
masker, glove, coolbox, spoit+needle,
kertas label, alat tulis, dan tissue.
Sarana untuk pengolahan data meliputi komputer, printer, tinta, kertas,
flashdisk, dan alat tulis.
Petugas lapang yang
terdiri dari: supervisor (1 orang), dokter hewan
(4 orang), enumerator (18 orang).
Petugas non-lapang yang terdiri dari: pengolah data (2
orang), administrasi (1 orang), dan bendahara (1
orang).
3.9.2 Pelatihan untuk
Personil
Para petugas
pelaksana survei, perlu diberi pelatihan-pelatihan sebagai pembekalan untuk
menghadapi kondisi lapang, antara lain:
a.
Pelatihan
pengambilan, pengumpulan, dan penanganan sampel
b.
Pelatihan
pengisian kuisioner
c.
Pelatihan
penyuluhan kepada pemilik ternak babi
3.9.4 Pengumpulan dan
Penanganan Sampel
Sampel yang telah diperoleh segera
dikirimkan ke supervisor dan dicek terhadap jumlah dan keutuhan sampel. Setelah
itu, segera dilakukan pengujian sampel di laboratorium
3.9.5 Pertimbangan Waktu
dan Anggaran
Pelaksanaan program survei penyakit hog cholera di Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur akan dilaksanakan
selama 7 hari. Mulai tanggal 4-12
Maret 2013 (dihitung 5 hari kerja dalam seminggu). Hari ke-1 dan ke-2
digunakan untuk persiapan dan sosialisasi program survei terhadap masyarakat.
Hari ke-3 sampai ke-5 digunakan
untuk pengambilan sampel darah, pengisian kuisioner, dan penyuluhan kepada
pemilik hewan dan masyarakat. Sejak hari ke-6 sampai ke-7
digunakan untuk input data, pengolahan data, dan analisis data. Pengiriman
sampel ke laboratorium dan penerimaan hasilnya dilakukan selama rentang waktu
tersebut. Total seluruh anggaran dana yang dibutuhkan sebesar Rp. 113.374.000(Lampiran).
IV. Penyusunan
Program Pengendalian Penyakit Hog Cholera Di Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur
4.1 Penyusunan
program pengendalian penyakit Hog Cholera
Hog cholera merupakan salah satu penyakit viral
pada babi yang bersifat fatal, secara sporadik penyakit ini masih di temukan di
Kabupaten Lembata dan dianggap sebagai salah satu penyebab utama kematian
babi. Kematian tersebut mengakibatkan berbagai kerugian yang
harus dianalisis dan dikendalikan agar prevalensinya menurun dan menghasilkan
keuntungan bagi daerah tersebut.
Prinsip dari suatu
program pengendalian adalah menerapkan semua langkah-langkah yang dapat
menurunkan frekuensi penyakit dalam suatu populasi hewan, baik yang sakit
maupun yang sehat. Seluruh langkah pencegahan merupakan bagian dari pendekatan
pengendalian. Pendekatan pengendalian yang dapat dilakukan di Kabupaten Lembata
antara lain:
1. Tindakan karantina dan pengawasan lalu lintas
hewan pembawa Hog Cholera
1.1
Hewan Tertular
a.
Setiap
babi harus dianggap sebagai hewan tertular atau tersangka hog cholera.
b.
Hewan
harus diobservasi selama 2-6 hari. Jika hasil positif, dapat dilakukan
pemusnahan pasca observasi dengan memberi tahu terlebih dahulu kepada pemilik
hewan.
c.
Semua
babi yng berada di wilayah yang mengalami hog cholera (dengan konfirmasi uji)
dinyatakan sebagai hewan yang tertular hog cholera dan boleh untuk dijadikan
sasaran eliminasi.
d.
Hewan
yang masuk tanpa perizinan resmi dapat dimusnahkan.
1.2. Hewan
kontak
Babi-babi
yang kontak dengan penderita hog cholera tidak boleh dibunuh sebelum hasil
observasi dikeluarkan.
1.3. Pengendalian
lalu lintas di daerah tertular
a.
Ketika
kejadian hog cholera dipastikan dan kajian epidemiologis membenarkan hal
tersebut, maka suatu langkah cepat harus dilakukan untuk menetapkan daerah
tersebut menjadi daerah tertular (DT) dan daerah rawan yang mengelilinginya.
b.
Tidak
ada lalu lintas hewan pembawa hog cholera dan hewan yang tidak divaksinasi bisa
masuk maupun keluar DT.
2. Tindakan terhadap babi menunjukkan gejala hog cholera
2.1. Babi yang divaksin menunjukkan gejala
hog cholera
a.
Isolasi
dan observasi 6 hari
b.
Jika
dalam masa observasi babi mati, organ babi harus dikirim ke laboratorium untuk
peneguhan diagnosa hog cholera.
c.
Jika
dalam masa observasi babi tetap hidup, hewan dibebaskan, namun jika babi
tersebut tidak berpemilik maka dilakukan eliminasi.
2.2. Babi yang
divaksin kontak dengan hewan tertular hog cholera
a.
Isolasi
dan observasi 6 hari
b.
Jika
dalam masa observasi babi mati, organ babi harus dikirim ke laboratorium untuk
peneguhan diagnosa hog cholera.
c.
Jika
dalam masa observasi babi tetap hidup, hewan dibebaskan, namun jika babi
tersebut tidak berpemilik maka dilakukan eliminasi.
2.3. Babi berpemilik
yang tidak divaksin menunjukkan gejala hog cholera
a.
Isolasi
dan observasi 6 hari
b.
Jika
dalam masa observasi babi mati, organ babi harus dikirim ke laboratorium untuk
peneguhan diagnosa hog cholera.
c.
Jika
dalam masa observasi babi tetap hidup, hewan dibebaskan, namun jika babi
tersebut tidak berpemilik maka dilakukan eliminasi.
2.4. Babi liar yang tidak divaksin
menunjukkan gejala hog cholera
Babi dieuthanasia dan
spesimen organ babi dikirim ke laboratorium.
3.
Perlakuan terhadap babi
yang baru terserang
Setiap
babi yang baru terserang wabah hog cholera harus mendapatkan pengobatan positif
atau negatif hog cholera menggunakan uji diagnostik.
4.
Surveilans dan pendataan
Melakukan
pendataan jumlah hewan pembawa hog cholera setiap tahun dan status vaksinasi di
setiap daerah dan survei deteksi penyakit dengan test antibodi. Populasi babi
yang terus berubah perlu di data secara baik, karena akan menjadi target wajib
dalam kegiatan vaksinasi. Pemeliharaan babi yang dibiarkan berkeliaran di
halaman dan tidak divaksinasi sangat rentan dan mendukung siklus penularan
babi.
4.1 Surveilans dilakukan
apabila:
-
Hog
cholera diduga telah masuk pada suatu wilayah bebas
-
Menentukan
luas area yang terjangkit hog cholera
-
Memastikan
daerah yang sudah bebas dari wabah, tetap bebas.
4.2 Hewan-hewan yang harus diuji dalam suatu
program surveilans:
-
Semua
babi tersangka hog cholera yang kontak dengan babi liar.
-
Semua
babi yang berpotensi hog cholera menjadi perhatian bagi pihak yang berwenang di
bidang kesehatan hewan, meskipun tanpa ada kontak dengan babi liar.
5. Vaksinasi massal
Berupa
pelaksanaan vaksinasi massal gratis terhadap babi secara rutin setiap tahunnya
secara berkelanjutan.
6. Peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness)
Peningkatan
kesadaran masyarakat tentang penyakit hog cholera, pencegahan, dan
pengendaliannya melalui penyuluhan dan sosialisasi dengan dialog interaktif,
dan seminar kepada peternak.
7. Kontrol terpadu
Melalui penertiban,
pengawasan peternakan babi, dan pemantauan individu yang berburu di hutan.
4.2 Penyusunan
Biaya dan Manfaat Pengendalian Penyakit (Lampiran analisis ekonomi)
Asumsi yang digunakan
dalam penyusunan program pengendalian penyakit hog cholera di Kabupaten Lembata:
1.
Populasi
babi tahun 2011 (tahun pertama) adalah 4729 ekor dengan asumsi kelahiran 6
ekor/tahun.
2.
Prevalensi
kejadian penyakit menurun setiap tahunnya karena adanya pengendalian.
Mortalitas kasus hog cholera 80% pada tahun pertama dan menurun setiap tahunnya
karena adanya pengendalian penyakit. Diperoleh data:
Tahun ke-
|
Jumlah babi
|
Angka kelahiran
|
Prevalensi
|
|
Mortalitas(%)
|
|
Jml babi mati
|
1
|
4729
|
1773
|
50%
|
|
80
|
|
1891
|
2
|
4611
|
2074
|
40%
|
|
70
|
|
1291
|
3
|
5395
|
2832
|
30%
|
|
50
|
|
1078
|
3.
Program
vaksinasi hog cholera untuk babi dilakukan setiap tahun dengan biaya 10000/ekor.
4.
Penyakit
hog cholera menyebabkan penurunan tersedianya protein hewani per tahun. Asumsi
dana yang didapatkan dari setiap ekor adalah Rp. 1.500.000,-
Tahun ke
|
Jumlah babi yang mati
|
Kerugian akibat kematian karena penyakit Hog cholera
(Rp)
|
1
|
1891
|
2,836,500,000.00
|
2
|
1291
|
1,936,500,000.00
|
3
|
1078
|
1,617,000,000.00
|
Perhitungan
nilai NPV, B/C ratio, dan IRR:
Suatu proyek dapat diterima apabila PVB > PVC atau NPV positif. Pada perhitungan analisa ekonomi, Discount Factor yang digunakan adalah
10% diperoleh nilai NPV sebagai berikut:
NPV
= PVB – PVC
= 1345683696 - 1080561908
=
265.121.788
Suatu proyek dapat
diterima apabila PVB > PVC atau
dengan kata lain NPV bernilai positif. “Net
Present Value” ini memberikan gambaran tentang jumlah keuntungan yang
diperoleh dari proyek dalam ukuran nilai sekarang. Dalam proyek ini, NVP
telah memenuhi syarat sehingga proyek dapat diterima.
Suatu proyek dapat
diterima apabila nilai B/C ratio lebih besar dari 1.
B/C =
PVB/PVC
= 540.123.966.9/ 356.785.124
=1,5
Dalam proyek ini, B/C ratio telah memenuhi syarat
sehingga proyek dapat diterima. Suatu proyek dapat diterima
apabila “B/C ratio” lebih besar dari 1.“B/C ratio” merupakan kriteria yang
sangat berguna dalam menentukan urutan prioritas proyek. Pada proyek ini, setiap 1 rupiah yang
dikeluarkan untuk program pengendalian akan menghasilkan keuntungan sebesar 1,5 rupiah. Hal ini menandakan bahwa proyek ini dapat
memberi keuntungan bila dilakukan.
Internal rate of return/IRR”
adalah “discount rate” atau (i)
bernilai PVB=PVC. IRR diperoleh dengan
mencoba “discount rate” secara
berulang-ulang sampai didapatkan “discount
rate” yang membuat PVB=PVC. IRR
merupakan kriteria yang lebih disukai daripada kriteria lain, karena
menggambarkan persentase tingkat pengembalian yang diperoleh (rate of return). Nilai IRR dari proyek ini yaitu 11%.Nilai IRR lebih tinggi dari nilai discount
rate (10%), sehingga proyek ini memenuhi syarat
dan dapat diterima.
V. SIMPULAN
Penyakit hog cholera
di Kabupaten Lembata harus dikendalikan dengan melaksanakan surveillans dan monitoring setiap
tahunnya melalui vaksinasi dan penyuluhan. Secara ekonomi, program pengendalian
penyakit hog cholera di Kabupaten Lembata menguntungkan dan layak
diterima.
DAFTAR PUSTAKA
[CFSPH] The Center for Food Security and Public Health. 2007. Classical
Swine Fever. http://www.cfsph.iastate.edu/Factsheets/
pdfs/ classical_ swine _fever.pdf [27
Februari 2013].
Diarmita IK. 2011. Menyoroti langkah antisipatif
kebijakan lokal dengan munculnya hog cholera di kabupaten lembata, Nusa
Tenggara Timur (NTT). Buletin vet.
XXIII[78]: 1-14.
Horst, H.S, Huirne, RBM, Dlikhauizen. 2000.
Risks and economic consequences of introducing classical swine fever into the Netherlands
by feeding swill to swine Department of Farm Management, Wageningen
Agricultural University. Rev. sci. tech. Off. int.Epiz., 16 (1), 207-214.
[OIE] Office International des Epizooties
World Organization. 2009. Classical swine fever (hog cholera) http://www.oie.int/fileadmin/ Home/eng/Animal_Health_in_the_World/docs/pdf/CLASSICAL_SWINE_FEVER_FINAL.pdf [26 Februari 2013].
[OIE] Office International des Epizooties
World Organization. 2011. Classical swine fever. http://www.oie.int/fileadmin/Home/eng/Media_Center/docs/
pdf/Disease_cards/CSF-EN.pdf [27 Februari 2013].
Pattiselanno F. 2005. Peternakan Babi di Manokwari :
Mempertahankan Tradisi dan Meningkatkan Taraf Hidup. Papua: Universitas Papua
Manokwari.
Ratundima EM, Suartha IN, Mahardika IGNK. 2012. Deteksi
antibodi terhadap virus classical swine fever dengan teknik Enzyme-Linked Immunosorbent Assay. Ind. Med. Vet. 1[2]: 217 – 227.
Tarigan S, Bahri S, Sarosa A. 1997. Hog cholera pada
babi. Wartazoa 6[1]: 23-32.
Utami S. 2009. Kajian patologi hog cholera kasus outbreak
tahun 2006 di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua. [Thesis]. Bogor: Fakultas
Kedokteran Hewan IPB.