Minggu, 23 Juni 2013

Biosekuriti Peternakan


Biosekuriti pada Farm Unggas

Peternakan unggas merupakan salah satu jenis peternakan yang sangat menjanjikan bila dikelola dengan baik, karena merupakan salah satu sumber protein hewani yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Akan tetapi dalam pemeliharaan ternak unggas tidaklah mudah,terlebih bila dihadapkan dengan kenyataan bahwa unggas sangat mudah terserang penyakit. Dalam tata laksana usaha peternakan unggas khususnya ayam dalam jumlah besar maka progam biosekuritas merupakan suatu hal penting yang harus dijalankan. Program biosekuritas sebenarnya relatif tidak mahal bahkan merupakan cara termurah dan efektif dalam mencegah dan mengendalikan penyakit pada ternak unggas. Tidak satupun program pencegahan penyakit dapat bekerja dengan baik tanpa disertai program biosekuritas. Hal ini membuktikan bahwa pencegahan penyakit jauh lebih baik dan efektif daripada pengobatan serta kerugian yang ditimbulkan apabila terserang penyakit yang berakhir pada kematian ribuan ternak. Misalnya pada kasus New Castle Diseases atau yang lebih dikenal dengan Tetelo ganas. Penyakit ini ditularkan melalui bakteri atau mikrobiologi yang ada di lingkungan yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, dimana penularan dari mikroba patogen ini sangatlah mudah dan penyebarannya sangat cepat. Dampak yang ditimbulkan dari infeksi bakteri ini adalah menyebabkan hewan sakit yang dengan cepat akan menyebabkan kematian pada ribuan ternak sehingga ayam yang tidak terinfksipun harus dibuang untuk menghindari penyebaran yang lebih besar. Hal ini otomatis akan menyebabkan kerugian ekonomi bagi peternak bahkan bisa menyebabkan seseorang kehilangan pekerjaan jika farm terpaksa ditutup. Oleh sebab itu untuk mengindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti ini perlu dilakukan pencegahan yang dikenal dengan istilah Biosekurity.
            Biosekuriti meliputi beberapa aspek yang mutlak harus diterapkan, karena sekecil apapun kesalahan yang kita lakukan akan berdampak fatal bagi peternakan. Biosekuriti pada dasarnya menjaga agar proktivitas dari ternak tetap bisa dipertahankan.
Penerapan biosekuriti meliputi :
1.      Pemeliharaan kebersihan yang bertujuan untuk membunuh kuman penyakit. Kebersihan ini harus diterapkan oleh semua pihak yang berhubungan dengan peternakan. Misalnya dengan mengganti pakaian yang digunakan pada saat bekerja dan mencuci pakaian yang digunakan setelah bekerja.
2.      Disinfeksi, yang bertujuan pemusnahan kuman penyakit. Pekerja atau siapapun yang akan masuk kedalam peternakan diwajibkan menbersihkan sepatu yang digunakan dengan disinfektan yang telah disediakan, dan diwajibkan untuk selalu membersihkan tangan dengan antiseptik bahkan setelah memegang benda sekecil apapun, sehingga kuman yang ada di tangan tidak menular ke hewan. Selain itu juga dilakukan disinfeksi kandang dan  peralatan sebelum unggas yang baru akan masuk ke flok. Pencucian kandang ayam merupakan kegiatan biosekuritas yang paling berat. Segera setelah flok ayam diafkir dan liter diangkat keluar kandang, tindakan berikutnya adalah pembersihan dan desinfeksi terhadap seluruh kandang dan lingkungannya. Gumpalan liter harus diangkat dan sisa-sisa yang menempel harus disikat dan disemprot dengn air. Peralatan seperti penggaruk, skop, truk pengangkut, wadah-wadah pengankut kotoran (manure), dan lain-lain semuanya harus dibersihkan dan didesinfeksi setelah dipakai. Kandang petelur dan peralatan harus dibersihkan secara menyeluruh dari atas sampai bawah dan didesinfeksi setelah setiap flok dipindahkan dari kandang semula dan sebelum flok baru dimulai. Pencucian kandang secara parsial hanya dilakukan pada kandang petelur dan peralatannya setelah flok dipindahkan dari tempat awalnya ke tempat yang baru.
3.      Isolasi menjauhkan benda-benda yang berpotensi membawa kuman penyakit dari luar masuk ke peternakan misalnya dengan menjauhkan arena parkir dengan peternakan, dan juga tidak diperkenankan sitem pinjam meminjam barang dengan peternakan dari sektor lain karena hal ini bisa menyebabkan  penyebaran penyakit semakin mudah. Tangan orang bisa juga menyebabkan infeksi dan harus didesinfeksi sebelum masuk bangunan kandang atau meninggalkannya. Pada peternakan di video yang ditonton, menerapkan prosedur dengan sangat ketat misalnya tamu yang akan masuk di cek karena tidak boleh mengunjungi farm lain sebelumnya, dan para pekerja di farm ini pun diseleksi yaitu tidak memelihara unggas di lingkungannya karena dapat menjadi agen dari sumber penyakit.
4.      Kontrol lalu lintas. Lalu lintas, dalam hal ini orang-orang yang tidak berkepentingan dilarang masuk, jika ada pengunjung yang akan berkunjung ke peternakan dipastikan orang tersebut tidak mengunjungi tempat-tempat dimana disana terdapat unggas. Misalnya di pasar unggas, pameran unggas, atau bahkan peternakan lain. Biosekuritas ini secara umum memberlakukan kontrol lalu lintas orang, seperti mengunci pintu dan membatasi pengunjung, atau mengizinkan masuk orang tertentu dan personil yang dibutuhkan (profesional) setelah memakai sepatu khusus, baju penutup dan mereka didesinfeksi. Kontrol lalu lintas tidak hanya berlaku untuk orang, tetapi juga untuk hewan seperti burung-burung liar , tikus dan lainnya. Konstruksi bangunan yang terbuka sebaiknya diberi kawat/pelindung untuk mencegah masuknya predator atau hewan-hewan penyebar penyakit, meskipun tidak efektif paling tidak dapat mengurangi resiko. Konstruksi kandang dan ruang penyimpan pakan dibuat agar tidak memungkinkan binatang-binatang seperti tikus, burung, kumbang dan lainnya secara leluasa dapat memasukinya (rodent proof). Lalu lintas kendaraan yang memasuki areal peternakan juga harus dimonitor secara ketat. Kendaraan yang memasuki areal peternakan didesinfeksi terlebih dahulu. Kendaraan yang bisa masuk ke areal peternakan adalah kendaraan pengangkut makanan, doc, ataupun peralatan kandang lainnya.. Sementara itu penumpangnya harus berjalan kaki lewat pintu khusus untuk lalu lintas orang. Di tempat ini ia harus didesinfeksi.
5.      Pengendalian hama, misalnya tikus, kecoa, burung liar, dan lain-lain. Dalam pengendalian ini perlu diperhatikan dinding-dinding apakah ada yang mengalami kerusakan yang memudahkan tikus ataupun kecoa bisa masuk, dan juga perlu dipastikan bahwa daerah atau lingkungan sektiar peternakan terbebas dari penumpunkan sampah atau lingkungan yang kotor, sebab hal tersebut menyebabkan hama seperti tikus bersarang. Pakan-pakan yang berjatuhan juga akan menyebabkan burung-burung liar datang dan memasuki lingkungan peternakan, dimana burung-burung liar ini akan sangat memungkinkan membawa penyakit yang akan ditularkan pada hewan dipeternakan.
6.      Pemusnahan unggas dan pembuangan limbah. Pemusnahan unggas yang mati untuk menghindarkan pencemaran ternak, pemusnahan yang dilakukan yaitu dengan cara dibakar. Dalam tatalaksana usaha peternakan ayam sisa-sisa produksi atau limbah sudah jelas akan dijumpai. Limbah ini harus dijauhkan dan dimusnahkan sejauh mungkin sari areal produksi. Bila mungkin harus ada petugas khusus yang mengambil sisa produksi ini secara teratur untuk dibuang atau dimusnahkan di luar areal produksi. Apabila tidak mungkin dibuang atau dimusnahkan di luar, maka harus dipilih di lokasi di dalam wilayah peternakan yang memungkinkan sisa-sisa produksi ini tidak mengganggu kegiatan produksi lainnya serta mencegah pencemaran lingkungan.

Pada pelaksanaan biosekuriti sehari-hari diperlukan kerja sama dari berbagai pihak, baik pekerja, pengunjung, maupun tenaga medis. Pekerja diperbolehkan memelihara unggas di rumah karena hal tersebut bisa menyebabkan penularan penyakit lebih mungkin terjadi. Se;ain itu hal yang harus diperhatikan yaitu pada saat pemeriksaan unggas dari satu flok ke flok yang lain sebaiknya dahulukan kunjungan ke flok yang sehat kemudian yang diudaga sakit, jika ditemukan kelainan-kelainan misalnya pada telur yang diproduksi abnormal segera dilaporkan dan dipisahkan dari unggas yang lain. Dengan penerapan Biosekuriti yang maksimal akan sangat menentukan keberhasilan dan kelanjutan dari suatu peternakan.

Sabtu, 22 Juni 2013

Hog Cholera

well, disalah satu bagian koas kami jg terdapat bagian Epidemiologi,,
nah dibagian ini kami dituntut mempraktekkan ilmu dan pengetahuan kami dalam bidang epidemiologi penyakit yang kami dapat teorinya waktu s1. 

Dikoas bagian ini, kami harus membuat satu program pengendalian dalam menghadapi suatu penyakit yg sedang mewabah di suatu daerah. hewan dan daerahnya bebas dimana aja,,,,nah, penting untuk diketahui, tugas kami adalah salah satu bentuk simulasi dari fakta dilapangan...memang sebaiknya datanya faktual, namun seperti yg kita ketahui, kadangkala data primer kurang banyak infonya jadi kami membuat simulasi dengan harapan menggambarkan kejadian dilapangan sehingga suatu hari nanti, kelak ketika kami sudah menjadi dokter hewan kami mampu dan memiliki kompetensi untuk membuat suatu program pengendalian penyakit hewan :)

Check this out!! ^^



I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Hog cholera atau disebut juga dengan classical swine fever (CSF) merupakan penyakit viral yang sangat kontagius pada babi dan dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat signifikan, karena angka kesakitan dan kematian yang sangat tinggi yaitu mencapai 95 – 100%. Berdasarkan klasifikasi OIE, Clasical Swine Fever (CSF) / hog cholera (HC) termasuk daftar list A (Diarmita 2011). Selain itu, penyakit ini termasuk dalam 12 jenis penyakit hewan menular strategis di Indonesia yang mendapat prioritas pengendalian dan pemberantasan utama secara nasional (Dirjennak 2007).
            Spesies babi merupakan satu-satunya spesies yang rentan terhadap virus hog cholera. Penularan alami terjadi melalui kontak langsung sesama babi dalam suatu peternakan. Virus di sebarkan melalui cairan mulut, hidung, mata, urin, dan feses. Tingkat keparahan penyakit ini bervariasi tergantung dari strain virus, umur babi, dan status kekebalan kelompok. Infeksi akut disebabkan oleh isolat yang sangat virulen dengan tingkat kematian yang tinggi sehingga penyakit ini juga sangat merugikan perekonomian masyarakat (Horst et al. 2000). Ternak babi sendiri merupakan salah satu komoditas unggulan rakyat dan mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Bagi masyarakat NTT ternak babi sangat penting artinya dalam kaitannya dengan adat istiadat. Selain itu, jumlah babi yang dimiliki biasanya dijadikan sebagai ukuran kekayaan seseorang (status sosial). Semakin banyak babi yang dimiliki, berarti semakin tinggi pula status sosialnya. Oleh karena itu, meskipun penduduk setempat memiliki pekerjaan utama yang beragam, namun umumnya mereka tetap memiliki ternak babi sebagai tambahan sumber pendapatan agar dapat meningkatkan pendapatan keluarga (Pattiselanno 2005).
     Dalam era perdagangan bebas dan global, arus lalu lintas perdagangan hewan dan produknya telah berkembang sangat cepat. Kondisi demikian menyebabkan risiko penyebaran penyakit hog cholera menjadi meningkat. Penyebaran penyakit hewan menular lebih banyak disebabkan oleh adanya pola lalu lintas hewan dan produknya ke daerah tujuan yang kurang memperhatikan kajian risiko (risk assessment). Dari aspek kesehatan hewan, meningkatnya lalu lintas perdagangan hewan dan produknya dapat membawa risiko masuknya penyakit hewan ke dalam wilayah Indonesia atau dari satu pulau ke pulau lain di dalam satu negara, yang dapat mengancam sumber daya hewan yang ada di Indonesia.
            Penyakit hog cholera mulai menjadi perhatian masyarakat luas sejak terjadi outbreak di Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT).  Penyakit ini kini tersebar hampir di seluruh kabupaten dan kecamatan di NTT (Ratundima 2012). Kasus ini diperkirakan muncul sejak awal Maret 2011, namun peningkatan kasus terjadi pada bulan Juni-Juli di tahun yang sama (Diarmita 2011). Propinsi NTT telah melakukan berbagai kegiatan pemberantasan hog cholera pada babi. Kegiatan tersebut antara lain: surveilans, komunikasi, edukasi, informasi ke seluruh masyarakat (dari sekolah hingga peternak), vaksinasi, hingga pembuatan peraturan daerah mengenai penanganan hog cholera yang berbasis analisa risiko. Sistem pemberantasan yang terpadu ini berdampak positif terhadap penurunan tingkat kasus hog cholera (Diarmita 2011).
      
            Secara ekonomi, penyakit hog cholera merupakan penyakit menular terpenting pada babi di seluruh dunia. Apabila penyakit ini berjangkit maka akan timbul kerugian ekonomi yang tinggi karena program pengendalian penyakit melalui program imunisasi dan pemusnahan memerlukan biaya yang besar. Pengendalian wabah hog cholera membutuhkan biaya sampai 2.3 miliyar USD (CFSPH 2007). Berbagai bentuk pengendalian penyakit hog cholera telah dilakukan oleh berbagai negara didunia dengan berusaha membentuk peraturan-peraturan yang berlaku global. Negara yang bebas hog cholera tidak boleh mengimpor babi, daging babi, maupun bahan yang berasal dari babi, yang berasal dari negara atau daerah tertular hog cholera. Program vaksinasi masal secara rutin telah di lakukan di perusahaan peternakan babi dan peternakan babi rakyat. Vaksin yang di gunakan berupa vaksin galur C (China), atau vaksin galur Japanese GPE dan French Triverval.

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menyusun program pengendalian penyakit Hog Cholera untuk menurunkan atau menekan kasus penyakit ini pada babi di Provinsi Nusa Tenggara Timur.


II. SIFAT ALAMIAH PENYAKIT
2.1 Riwayat Alamiah Penyakit
            Hog cholera adalah penyakit viral yang sangat menular pada babi, dapat terjadi secara akut, sub akut dan kronis. Penyakit ini dimanifestasikan dengan adanya pendarahan septicemia disertai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia. Negara yang dilaporkan positif hog cholera antara lain Jerman, sebagian negara di Eropa Timur, Afrika Timur, Afrika Tengah, India, China, Asia Timur dan Tenggara, Amerika Tengah serta banyak Negara di Amerika Selatan (DAFF 2008). Di Indonesia, hog cholera dilaporkan pertama kali tahun 1994 terjadi di pulau Sumatra dan secara bertahap menyebar ke Jawa pada awal tahun 1995. Distribusi wilayah tertular Hog Cholera di NTT dari tahun 1998 sampai saat ini menggambarkan cepatnya penyebaran penyakit antar pulau / area. Kasus pertama kali dilaporkan di Kabupaten Kupang tahun 1998, selanjutnya pada tahun 2005 hasil uji serologis positif di Kabupaten Sikka.

2.1.1 Patogenesis
Infeksi alami virus hog cholera (HC) umumnya terjadi melalui rute oro-nasal. Virus dapat masuk ke dalam tubuh melalui konjungtiva, mukosa alat genital, atau melalui kulit yang terluka. Dengan afinitas yang tinggi dari virus HC terhadap sel-sel system retikuloendotelial, virus HC akan menginfeksi sel-sel endotel sistem vaskuler (kapiler, vena maupun arteri, dan pembuluh limfe) hingga mengalami degenerasi hidropis serta nekrotik. Virus yang melakukan replikasi di dalam tonsil, segera meluas ke jaringan limforetikuler di sekitarnya. Dengan perantaraan cairan limfe virus menyebar ke seluruh kelenjar limfe. Di dalam kelenjar limfe virus memperbanyak diri dan kemudian masuk ke jaringan limfoid limpa, sumsum tulang, dan kelenjar limfe viseral. Perkembangan virus yang cepat juga terjadi di dalam sel leukosit, hingga timbul viremia. Pada penyakit yang berjalan akut sering terjadi pendarahan yang disebabkan gangguan sirkulasi yang akut oleh proses degenerasi sel-sel endotel pembuluh darah dan reaksi imunologis.

2.1.2 Epidemiologis
Daerah wabah hog cholera di Indonesia yang telah ditetapkan berdasarkan SK. Mentan No. 888/ Kpts/TN. 560/9/97 adalah Provinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (Utami 2009).  

2.1.3 Gejala Klinis
Hewan yang terinfeksi virus hog cholera memperlihatkan gejala klinis antara lain: lesu, tidak aktif, malas bergerak dan gemetar. Nafsu makan menurun hingga hilang, suhu tubuh meningkat sampai 41-42°C selama 6 hari.Jumlah leukosit dapat turun drastis ketika viremia, yaitu turun dari 9000 menjadi 3000/ml dalam darah (leukopenia). Hewan penderita mengalami konjungtivitis, dengan air mata berlebihan. Eksudat dapat berupa mukous atau muko-purulen, terlihat di kelopak mata dan dapat menyebabkan kelopak mata menjadi lengket. Konstipasi di sertai dengan radang saluran gastrointestinal menyebabkan diare encer, berwarna kekuningan. Rasa dingin mendorong babi-babi berkumpul (piled-up) di sudut kandang. Sebelum babi mati pada kulit daerah perut, muka, telinga, dan bagian dalam dari kaki terlihat eritema. Pada penyakit yang berjalan akut kematian babi biasanya memakan waktu 10-20 hari. Kasus hog cholera yang berjalan secara perakut kronik dapat bertahan sampai lebih kurang 3 bulan. Infeksi virus hog cholera yang terjadi pada masa kebuntingan, di kenal sebagai late-onset HC, kematian dapat terjadi di antara bulan ke-2 sampai dengan bulan ke-11. Gejala klinis pada kolera late-onset ini meliputi depresi dan anoreksia yang terjadi secara lambat, suhu tubuh normal, konjungtivitis, dermatitis dan gangguan saat berjalan.

2.1.4 Diagnosis
            Diagnosis hog cholera di lapangan dapat di tentukan berdasarkan anamnesa, gambaran klinis, dan pemeriksaan pasca mati. Utami (2009) menyatakan bahwa pada pemeriksaan pasca mati perlu diperhatikan adanya gambaran terutama perdarahan kelenjar limfe, ginjal dan infark limpa yang patognomonis serta adanya button ulcer di berbagai bagian usus besar. Sebagai diagnosis banding perlu di perhatikan African swine fever (ASF), salmonellosis septik, pasteurellosis (septisemia epizootika), streptokokosis dan erisipelas. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan meliputi deteksi antigen virus, isolasi virus. Antigen virus salah satunya dapat diketahui dengan teknik antibodi fluoresent metode langsung (direct FAT) dan PCR.

B
A
 
Gambar 1 Lesio postmortem pada ginjal (A multiple ptechie di cortex ginjal  dan B infark yang dikelilingi oleh hemoragi).
2.2 Mata Rantai Infeksi
2.2.1 Agen etiologis
Virus hog cholera termasuk ke dalam famili Flaviviridae, genus Pestivirus. Penyakit virus ini sangat infektif dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi dan menyerang alat pernafasan dan pencernaan. Virus HC berbentuk bundar dengan diameter berkisar antara 40-50 nm, mempunyai nucleocapsid berbentuk hexagonal berukuran sekitar 29 nm, dan mengandung material genetik RNA berbentuk single stranded dan polarity positif (Tarigan et al. 1997).
Gambar 2 Struktur Virus Hog Cholera (VHC). Virus Hog Cholera merupakan virus RNA utas tunggal beramplop dengan inti isometrik yang di kelilingi oleh membran/capsid (Utami 2009).

Virus hog cholera termasuk virus yang resisten terhadap lingkungan yang buruk. Akan tetapi viabilitasnya sangat tergantung pada media dimana virus tersebut berada(Tarigan et al. 1997). Menurut OIE (2009), Virus ini akan inaktif pada suhu pemanasan 65.5°C selama 30 menit atau pada suhu 71°C selama satu menit. Virus ini dapat bertahan selama beberapa bulan pada daging yang di simpan di lemari pendingin, atau selama bertahun-tahun pada daging beku. Virus juga stabil dalam kisaran pH yang panjang, antara pH 4–11 atau pada pH 5-10. Virus ini dengan cepat akan inaktif pada pH <3.0 atau pH >11.0. Karena selubungnya mengandung lipid, virus sangat rentan terhadap pelarut lemak seperti ether, chloroform dan ß-propiolactone (0.4%), serta detergent seperti desoxycholate, nonidet P40 dan saponin (OIE 2009).


2.2.2 Sumber/Reservoir
Agen penyakit dapat ditemukan di darah, sekresi, dan ekskresi (discharge oronasal dan lakrimal, urin, feses, dan semen) serta jaringan dari hewan sakit atau hewan mati, termasuk daging. Virus juga menetap di dalam anak babi yang terinfeksi secara kongenital selama 6-12 bulan (OIE 2009). Virus ini juga dapat masuk ke suatu peternakan bersamaan dengan  masuknya hewan muda yang secara klinis tampak sehat, namun sesungguhnya sedang dalam stadium inkubasi penyakit atau bersama babi bunting yang terinfeksi penyakit hog cholera.

2.2.3 Jalur Masuk
Virus menular dari ternak yang satu ke ternak yang lainnya dengan cara masuk ke dalam tubuh babi melalui rute oronasal. Babi akan terinfeksi hog cholera apabila memakan daging babi atau produk olahan asal daging babi yang terinfeksi oleh virus hog cholera. Fetus dari babi yang sedang bunting juga dapat terinfeksi di dalam uterus induk babi dan virus akan menetap di dalam fetus tersebut selama beberapa bulan lamanya (OIE 2011). Kondisi ini menyebabkan embrio atau janin yang dilahirkan akan mati, lemah atau cacat. Sedangkan fetus yang dilahirkan dengan sehat akan bertindak sebagai sumber penularan selama berbulan-bulan, sampai babi itu sendiri menjadi sakit.

2.2.4 Cara keluar
Menurut OIE (2011), virus akan keluar bersama dengan saliva, sekresi nasal, urin, dan feses yang keluar dari dari babi terinfeksi. Babi yang sembuh, akan tetapi belum membentuk antibodi protektif cukup, masih akan menjadi sumber penyakit bagi hewan lain. Virus juga berada pada daging babi dan produk olahan daging babi yang terinfeksi hog cholera.

2.2.5 Cara Penularan (Transmisi)
Cara penularan bisa dengan kontak langsung (sekresi, ekskresi, semen, dan darah)  ataupun tidak langsung (kandang, peralatan kandang, pakaian, dan kendaraan kandang). Namun, penularan yang paling sering terjadi adalah melalui kontak langsung dengan hewan penderita (OIE 2011). Penularan juga bisa terjadi secara horizontal ataupun vertikal, yakni dari induk kepada fetus yang dikandung (Tarigan et al. 1997)
Babi yang sakit akan menyebarkan virus terutama melalui sekresi oronasal dan lakrimal (Tarigan et al. 1997). Penularan juga bisa terjadi apabila babi diberi makan dengan sisa dapur yang mengandung daging babi tercemar virus hog cholera tanpa dimasak terlebih dahulu.

2.2.6 Inang Rentan
            Satu-satunya hewan yang rentan terinfeksi penyakit ini adalah babi yang di pelihara dengan cara masih secara sederhana, seperti diberi makan dengan sisa dapur yang mengandung produk daging babi (Tarigan et al. 1997). Babi hutan juga merupakan hewan yang rentan terinfeksi oleh virus hog cholera (OIE 2009).

2.2.7 Determinan Penyakit
Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian suatu penyakit disebut sebagai determinan penyakit. Faktor tersebut meliputi determinan primer, sekunder, intrinsik, ekstrinsik, dan determinan yang berhubungan dengan host, agen serta lingkungan. Determinan faktor resiko penyakit hog cholera dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Determinan primer dan determinan sekunder dari penyakit hog cholera
Determinan primer
Determinan intrinsik
Determinan ekstrinsik
Unsur hidup
Unsur tidak hidup
Genetik persisten (carier-sow syndrome)
Kekebalan inang
Virulensi strain Hog Cholera Virus pada
Arthropod (vektor nyamuk Culex sp.)
Feses, pakan, peralatan kandang (fomit),  lingkungan kandang
Determinan sekunder
Determinan intrinsik
Determinan ekstrinsik
Umur babi
Stress
Nutrisi
Status imun populasi
Manajemen pemeliharaan
Stressor
Sanitasi peternakan
Biosekuriti
Iklim

III. RANCANGAN SURVEI KEBERADAAN PENYAKIT HOG CHOLERA DI KABUPATEN LEMBATA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

3.1 Tujuan
Tujuan dilakukannya survei hog cholera di Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu untuk mengetahui dan mengukur prevalensi kejadian penyakit dan mengidentifikasi determinan serta faktor resiko penyakit.

3.2 Faktor Resiko
Hal-hal yang menjadi faktor resiko dari kejadian penyakit hog cholera yaitu:
·         Manajemen pemeliharaan dalam kandang (pembatasan area antar babi, pembagian jenis kandang)
·         Tingkat pengetahuan peternak terhadap manajemen pemeliharaan babi (pengelolaan pakan dan litter kandang)
·         Sistem pelaporan penyakit (diagnosa dini)
·         Populasi ternak (variasi umur ternak)
·         Biosekuriti peternakan (sanitasi kandang, kebersihan peralatan, higiene personal, pengaturan lalu lintas ternak)
·         Status kesehatan individu/populasi (vaksinasi dan pengobatan)
·         Vektor (serangga/arthropoda) di lingkungan kandang

3.3 Jenis Data
Data yang diambil dari survei adalah data populasi babi yang diperoleh dari data sekunder (Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur) untuk dijadikan populasi acuan dan data prevalensi penyakit hog cholera di Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur.

3.4 Populasi Acuan
Berdasarkan data sekunder yang diperoleh, diketahui populasi babi Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2011 berjumlah 4729 ekor. Diperkirakan pada tahun 2013 akan berjumlah lebih dari itu. Asumsi prevalensi kejadian adalah sekitar 50%.

3.5 Metode Dalam Survei
3.5.1 Teknik Penarikan Sampel dan Besaran Sampel
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara menggunakan metode penarikan contoh acak bertingkat. Tahapan yang pertama kali dilakukan untuk pengambilan sampling ialah menentukan kecamatan yang akan disampel, dengan cara menentukan interval terlebih dahulu.  Penentuan kecamatan yang akan diambil sampelnya dipilih dengan metode probability Proportional to Size (PPS) karena sebaran populasi pada tiap kecamatan berbeda, sehingga dapat dikatakan bahwa setiap kecamatan tidak memiliki kesempatan yang sama. Dengan menggunakan metode PPS maka tiap kecamatan akan memiliki kesempatan terpilih berdasarkan jumlah populasinya.  Tahap kedua dan ketiga adalah penentuan desa serta peternak dengan menggunakan metode PPS pula. Tahap terakhir adalah penentuan babi terpilih untuk diambil sampel darahnya.
Total populasi babi di Kabupaten Lembata berjumlah 4729 ekor dengan prevalensi dugaan maksimal 50%, sehingga ukuran contoh pada populasi besar yang diperlukan yaitu:
Populasi                    : 4729 ekor
Prevalensi dugaan : 50%
Asumsi yang digunakan
Ø  Tingkat kepercayaan : 95%
Ø  Tingkat kesalahan : 5%
Ukuran sampel, dapat ditentukan dengan perhitungan sebagai berikut:
            n = 4pq/L2
ket:      p = prevalensi dugaan = 50% = 0,5
            q = 1-p = 1 - 0,5 = 0,5
            L = tingkat kesalahan = 5% = 0,05
Jadi     n = 4pq/L2         
               = 4 x (0,5) x (0,5)
                        (0,05)2
                   = 400 ekor

Metode PPS digunakan pada 2 tahap (penentuan kecamatan dan desa), sehingga besar n akhir yang diperlukan untuk dijadikan sebagai ukuran sampel didapat dikalikan 2.  Oleh karena itu, jumlah sampel n = 400 x 2 = 800. Jadi sampel yang digunakan (n) sebesar 800 ekor. Dalam hal ini ukuran populasi yang diinginkan sebanyak 4 desa, sehingga jumlah yang diambil untuk tiap desa adalah 800/4 =200 ekor.

Tahap pertama penentuan kecamatan terpilih untuk diambil sampelnya menggunakan metode probability Proportional to Size (PPS):
Jumlah Populasi babi di Kabupaten Lembata   = 4729 ekor
Jumlah kecamatan yang akan diambil sampel = 2 kecamatan
Selang Interval (K)   =             Ukuran populasi
                                        Ukuran contoh yang diinginkan
                                    =          4729  
                                                    2
                                                =     2364,5 = 2365
Bilangan sampel yang terdapat di antara selang 1-2365 dipilih dengan menggunakan rumus =RANDBETWEEN(1, 2365) pada program EXCEL 2007. Bilangan sampel yang terpilih ialah 309, sehingga berdasarkan metode acak gerombol, kelompok gerombol pertama berada di Kecamatan Atadei.  Kemudian kelompok selanjutnya ialah Kecamatan Nubetukan.

Tabel 2  Data populasi babi di Kab. Lembata Prov. Nusa Tenggara Timur
No
Kecamatan
Populasi
Jumlah Kumulatif
1.
Atadei
1287
1287
2.
Buyasuri
952
2239
3.
Nubetukan
1347
3586
4.
Omesuri
1143
4729

Jumlah
4729

Keterangan: label merah muda merupakan kecamatan terpilih

Setelah mendapatkan 2 kecamatan dengan jumlah total babi 2634, tahap kedua adalah menentukan desa-desa terpilih dengan memperhitungkan bahwa jumlah babi di tiap desa berbeda-beda. Desa terpilih ditentukan dengan menggunakan metode PPS. Dari 2 kecamatan terpilih (Atadei dan Nubetukan) terdapat 7 desa. Desa yang akan diambil sampelnya hanya 4 desa.
Tahap kedua penentuan desa terpilih untuk diambil sampelnya menggunakan metode probability Proportional to Size (PPS):
Jumlah desa yang akan diambil sampel = 4 desa
Selang Interval (K)   =   2634   
                                          4
                                                =    658,5 à 659
Bilangan sampel yang terdapat di antara selang 1-659 dipilih dengan menggunakan rumus =RANDBETWEEN(1,659) pada program EXCEL 2007.  Bilangan sampel yang terpilih ialah 17, sehingga berdasarkan metode acak gerombol, kelompok gerombol pertama berada di Desa Katakeja.  Kemudian desa terpilih selanjutnya dapat dilihat di tabel 3.
Tabel 3  Asumsi jumlah ternak pada tiap desa di Kecamatan Atadei dan Nubetukan
Kecamatan
Desa
Jumlah Ternak
Jumlah Kumulatif
Atadei
Katakeja
385
385

Atakore
108
493

Lebaata
116
609
Nubetukan
Lewoleba Barat
450
1059

Lewoleba Utara
458
1517

Lewoleba Selatan
106
1623

Pada
402
2025

Lewoleba Tengah
387
2412

Lewoleba
222
2634

Jumlah
2634

  Keterangan: label merah muda merupakan desa terpilih


Sampel darah akan diambil dari semua peternak yang ada di desa terpilih.  Tahap selanjutnya adalah menentukan jumlah babi yang akan diambil sampel darahnya dari tiap-tiap desa.  Penentuan jumlah babi yang akan diambil sampel darahnya dari setiap desa adalah dengan metode proposional. Semakin banyak babi yang ada disuatu desa, semakin banyak pula jumlah babi yang akan diambil sampel darahnya desa tersebut. 
Rumus yang digunakan untuk menentukan jumlah babi yang diambil dari tiap peternak di satu kecamatan, yaitu:
Jumlah babi untuk tiap peternak (n): 
                                           Jumlah babi 1 desa     x  200
              Total jumlah babi dari desa terpilih dalam satu kecamatan

Tabel 4  Hasil perhitungan jumlah sampel babi dari tiap peternakan
Desa
Peternak
Jumlah Ternak
Perhitungan
Jumlah Sampel

Ketakeja
(385 ekor)




Lewoleba Barat
(450 ekor)


Lewoleba Utara
(458 ekor)



Pada
(402 ekor)

A
B
C
D
E


A
B
C
D

A
B
C
D
E

A
B
C
D
140
70
65
70
40


120
80
95
155

68
95
115
100
80

120
95
100
87
140/385(200)
70/385(200)
65/385(200)
70/385(200)
40/385(200)


120/450(200)
80/450(200)
95/450(200)
155/450(200)

68/458(200)
95/458(200)
115/458(200)
100/458(200)
80/458(200)

120/402(200)
95/402(200)
100/402(200)
87/402(200)
73
36
34
36
21

53
36
42
69

30
41
50
44
35

60
47
50
43



3.5.2 Sampel
Sampel yang diambil adalah darah dari vena jugularis babi yang diambil dari desa terpilih. 
3.5.3 Pengamatan dan Pengukuran
Pengamatan dilakukan dengan cara mengunjungi peternak babi pada desa yang terpilih dan dilakukan pengisian kuisioner serta pengambilan sampel darah babi.  
3.5.4 Uji Diagnostik
Pengamatan dan pengukuran dikumpulkan lewat kunjungan ke peternakan dan melakukan wawancara dengan peternak dan mengisi kuisioner. Selanjutnya, mengambil sampel berupa spesimen darah (serum) babi di peternakan babi untuk memudahkan pendataan survei. Setelah dikoleksi, darah dimasukan kedalam cool box untuk diuji dengan uji diagnostik di laboratorium. Uji diagnostik yang digunakan yaitu uji  PCR. Pemeriksaan dengan PCR lebih akurat dengan sensitivitas 90-100% dan spesifisitasnya lebih dari 97% untuk mendeteksi agen penyakit. Keuntungan lain dari metode ini adalah kemampuan diagnosis dan skrining penyakit menular dengan cepat. Kemampuan deteksi cepat ini memungkinkan terapi yang efektif lebih cepat dan berimplementasi pada control infeksi serta intervensi penyebarannya.

3.6 Kuisioner
Kuisioner diisi pada masing-masing tempat pengambilan sampling dengan melakukan wawancara pada responden yaitu peternak babi.

3.7 Pengolahan Data
            Setelah semua kuisioner telah diisi oleh responden, seluruh kuisioner yang dikumpulkan ke supervisor untuk dicek ulang apabila ada yang missing. Bila sampel telah diperiksa dan sejumlah sampel telah memberikan hasil uji positif maka data siap untuk di-input oleh tim pengolah data. Setelah semua data dimasukkan, dilakukan pemeriksaan data dengan menggunakan analisis program. Selanjutnya, bila semua prosesing data sudah lengkap maka siap untuk dianalisa dengan menggunakan software winepiscope 2.0.

3.8 Analisis Statistik
Pengukuran tingkat kejadian hog cholera dapat diukur dengan menghitung prevalensi kejadian hog cholera pada populasi ternak babi. Sedangkan untuk menyidik penyebab penyakit menggunakan kajian Kohort dengan mengukur derajat asosiasi relative risk dan odds ratio.

3.9 Aspek Keorganisasian
3.9.1 Aspek Logistik dan Ketersediaan Personil
Alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan sampel adalah vacutainer 5ml+EDTA, kapas, alcohol, masker, glove, coolbox, spoit+needle, kertas label, alat tulis, dan tissue. Sarana untuk pengolahan data meliputi komputer, printer, tinta, kertas, flashdisk, dan alat tulis.
Petugas lapang yang terdiri dari: supervisor (1 orang), dokter hewan (4 orang), enumerator (18 orang). Petugas non-lapang yang terdiri dari: pengolah data (2 orang), administrasi (1 orang), dan bendahara (1 orang).

3.9.2 Pelatihan untuk Personil
Para petugas pelaksana survei, perlu diberi pelatihan-pelatihan sebagai pembekalan untuk menghadapi kondisi lapang, antara lain:
a.    Pelatihan pengambilan, pengumpulan, dan penanganan sampel
b.    Pelatihan pengisian kuisioner
c.    Pelatihan penyuluhan kepada pemilik ternak babi

3.9.4 Pengumpulan dan Penanganan Sampel
Sampel yang telah diperoleh segera dikirimkan ke supervisor dan dicek terhadap jumlah dan keutuhan sampel. Setelah itu, segera dilakukan pengujian sampel di laboratorium

3.9.5 Pertimbangan Waktu dan Anggaran
Pelaksanaan program survei penyakit hog cholera di Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur akan dilaksanakan selama 7 hari. Mulai tanggal 4-12 Maret 2013 (dihitung 5 hari kerja dalam seminggu). Hari ke-1 dan ke-2 digunakan untuk persiapan dan sosialisasi program survei terhadap masyarakat. Hari ke-3 sampai ke-5 digunakan untuk pengambilan sampel darah, pengisian kuisioner, dan penyuluhan kepada pemilik hewan dan masyarakat. Sejak hari ke-6 sampai ke-7 digunakan untuk input data, pengolahan data, dan analisis data. Pengiriman sampel ke laboratorium dan penerimaan hasilnya dilakukan selama rentang waktu tersebut. Total seluruh anggaran dana yang dibutuhkan sebesar Rp. 113.374.000(Lampiran).

IV. Penyusunan Program Pengendalian Penyakit Hog Cholera Di Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur

4.1 Penyusunan program pengendalian penyakit Hog Cholera
Hog cholera merupakan salah satu penyakit viral pada babi yang bersifat fatal, secara sporadik penyakit ini masih di temukan di Kabupaten Lembata dan dianggap sebagai salah satu penyebab utama kematian babi. Kematian tersebut mengakibatkan berbagai kerugian yang harus dianalisis dan dikendalikan agar prevalensinya menurun dan menghasilkan keuntungan bagi daerah tersebut. 
Prinsip dari suatu program pengendalian adalah menerapkan semua langkah-langkah yang dapat menurunkan frekuensi penyakit dalam suatu populasi hewan, baik yang sakit maupun yang sehat. Seluruh langkah pencegahan merupakan bagian dari pendekatan pengendalian. Pendekatan pengendalian yang dapat dilakukan di Kabupaten Lembata antara lain:
1.    Tindakan karantina dan pengawasan lalu lintas hewan pembawa Hog Cholera
1.1 Hewan Tertular
a.    Setiap babi harus dianggap sebagai hewan tertular atau tersangka hog cholera.
b.    Hewan harus diobservasi selama 2-6 hari. Jika hasil positif, dapat dilakukan pemusnahan pasca observasi dengan memberi tahu terlebih dahulu kepada pemilik hewan.
c.    Semua babi yng berada di wilayah yang mengalami hog cholera (dengan konfirmasi uji) dinyatakan sebagai hewan yang tertular hog cholera dan boleh untuk dijadikan sasaran eliminasi.
d.    Hewan yang masuk tanpa perizinan resmi dapat dimusnahkan.

1.2. Hewan kontak
Babi-babi yang kontak dengan penderita hog cholera tidak boleh dibunuh sebelum hasil observasi dikeluarkan.

1.3. Pengendalian lalu lintas di daerah tertular
a.       Ketika kejadian hog cholera dipastikan dan kajian epidemiologis membenarkan hal tersebut, maka suatu langkah cepat harus dilakukan untuk menetapkan daerah tersebut menjadi daerah tertular (DT) dan daerah rawan yang mengelilinginya.
b.      Tidak ada lalu lintas hewan pembawa hog cholera dan hewan yang tidak divaksinasi bisa masuk maupun keluar DT.

2.    Tindakan terhadap babi menunjukkan gejala hog cholera
2.1. Babi yang divaksin menunjukkan gejala hog cholera
a.    Isolasi dan observasi 6 hari
b.    Jika dalam masa observasi babi mati, organ babi harus dikirim ke laboratorium untuk peneguhan diagnosa hog cholera.
c.    Jika dalam masa observasi babi tetap hidup, hewan dibebaskan, namun jika babi tersebut tidak berpemilik maka dilakukan eliminasi.

2.2. Babi yang divaksin kontak dengan hewan tertular hog cholera
a.    Isolasi dan observasi 6 hari
b.    Jika dalam masa observasi babi mati, organ babi harus dikirim ke laboratorium untuk peneguhan diagnosa hog cholera.
c.    Jika dalam masa observasi babi tetap hidup, hewan dibebaskan, namun jika babi tersebut tidak berpemilik maka dilakukan eliminasi.

2.3. Babi berpemilik yang tidak divaksin menunjukkan gejala hog cholera
a.    Isolasi dan observasi 6 hari
b.    Jika dalam masa observasi babi mati, organ babi harus dikirim ke laboratorium untuk peneguhan diagnosa hog cholera.
c.    Jika dalam masa observasi babi tetap hidup, hewan dibebaskan, namun jika babi tersebut tidak berpemilik maka dilakukan eliminasi.

2.4. Babi liar yang tidak divaksin menunjukkan gejala hog cholera
Babi dieuthanasia dan spesimen organ babi dikirim ke laboratorium.

3.    Perlakuan terhadap babi yang baru terserang
Setiap babi yang baru terserang wabah hog cholera harus mendapatkan pengobatan positif atau negatif hog cholera menggunakan uji diagnostik.

4.    Surveilans dan pendataan
Melakukan pendataan jumlah hewan pembawa hog cholera setiap tahun dan status vaksinasi di setiap daerah dan survei deteksi penyakit dengan test antibodi. Populasi babi yang terus berubah perlu di data secara baik, karena akan menjadi target wajib dalam kegiatan vaksinasi. Pemeliharaan babi yang dibiarkan berkeliaran di halaman dan tidak divaksinasi sangat rentan dan mendukung siklus penularan babi.

4.1 Surveilans dilakukan apabila:
-          Hog cholera diduga telah masuk pada suatu wilayah bebas
-          Menentukan luas area yang terjangkit hog cholera
-          Memastikan daerah yang sudah bebas dari wabah, tetap bebas.

4.2  Hewan-hewan yang harus diuji dalam suatu program surveilans:
-          Semua babi tersangka hog cholera yang kontak dengan babi liar.
-          Semua babi yang berpotensi hog cholera menjadi perhatian bagi pihak yang berwenang di bidang kesehatan hewan, meskipun tanpa ada kontak dengan babi liar.


5.    Vaksinasi massal
Berupa pelaksanaan vaksinasi massal gratis terhadap babi secara rutin setiap tahunnya secara berkelanjutan.

6.    Peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness)
Peningkatan kesadaran masyarakat tentang penyakit hog cholera, pencegahan, dan pengendaliannya melalui penyuluhan dan sosialisasi dengan dialog interaktif, dan seminar kepada peternak.

7.    Kontrol terpadu
Melalui penertiban, pengawasan peternakan babi, dan pemantauan individu yang berburu di hutan.

4.2 Penyusunan Biaya dan Manfaat Pengendalian Penyakit (Lampiran analisis ekonomi)
Asumsi yang digunakan dalam penyusunan program pengendalian penyakit hog cholera di Kabupaten Lembata:
1.    Populasi babi tahun 2011 (tahun pertama) adalah 4729 ekor dengan asumsi kelahiran 6 ekor/tahun.
2.    Prevalensi kejadian penyakit menurun setiap tahunnya karena adanya pengendalian. Mortalitas kasus hog cholera 80% pada tahun pertama dan menurun setiap tahunnya karena adanya pengendalian penyakit. Diperoleh data:
Tahun ke-
Jumlah babi
Angka kelahiran
Prevalensi

Mortalitas(%)

Jml babi mati
1
4729
1773
50%

80

1891
2
4611
2074
40%

70

1291
3
5395
2832
30%

50

1078
3.    Program vaksinasi hog cholera untuk babi dilakukan setiap tahun dengan biaya 10000/ekor.
4.    Penyakit hog cholera menyebabkan penurunan tersedianya protein hewani per tahun. Asumsi dana yang didapatkan dari setiap ekor adalah Rp. 1.500.000,-
Tahun ke
Jumlah babi yang mati
Kerugian akibat kematian karena penyakit Hog cholera (Rp)
1
1891
 2,836,500,000.00
2
1291
 1,936,500,000.00
3
1078
 1,617,000,000.00


Perhitungan nilai NPV, B/C ratio, dan IRR:

Suatu proyek dapat diterima apabila PVB > PVC atau NPV positif. Pada perhitungan analisa ekonomi, Discount Factor yang digunakan adalah 10% diperoleh nilai NPV sebagai berikut:
            NPV = PVB – PVC
                        = 1345683696 - 1080561908
                        = 265.121.788

            Suatu proyek dapat diterima apabila PVB > PVC atau dengan kata lain NPV bernilai positif. “Net Present Value” ini memberikan gambaran tentang jumlah keuntungan yang diperoleh dari proyek dalam ukuran nilai sekarang.  Dalam proyek ini, NVP telah memenuhi syarat sehingga proyek dapat diterima.
            Suatu proyek dapat diterima apabila nilai B/C ratio lebih besar dari 1.
B/C = PVB/PVC
= 540.123.966.9/ 356.785.124
=1,5

Dalam proyek ini, B/C ratio telah memenuhi syarat sehingga proyek dapat diterima. Suatu proyek dapat diterima apabila “B/C ratiolebih besar dari 1.“B/C ratio” merupakan kriteria yang sangat berguna dalam menentukan urutan prioritas proyek. Pada proyek ini, setiap 1 rupiah yang dikeluarkan untuk program pengendalian akan menghasilkan keuntungan sebesar 1,5 rupiah.  Hal ini menandakan bahwa proyek ini dapat memberi keuntungan bila dilakukan.
Internal rate of return/IRR” adalah “discount rate” atau (i) bernilai PVB=PVC.  IRR diperoleh dengan mencoba “discount rate” secara berulang-ulang sampai didapatkan “discount rate” yang membuat PVB=PVC.  IRR merupakan kriteria yang lebih disukai daripada kriteria lain, karena menggambarkan persentase tingkat pengembalian yang diperoleh (rate of return).  Nilai IRR dari proyek ini yaitu 11%.Nilai IRR lebih tinggi dari nilai discount rate (10%), sehingga proyek ini memenuhi syarat dan dapat diterima.

V. SIMPULAN

Penyakit hog cholera di Kabupaten Lembata harus dikendalikan dengan melaksanakan surveillans dan monitoring setiap tahunnya melalui vaksinasi dan penyuluhan. Secara ekonomi, program pengendalian penyakit hog cholera di Kabupaten Lembata menguntungkan dan layak diterima.
DAFTAR PUSTAKA

[CFSPH] The Center for Food Security and Public Health. 2007. Classical Swine Fever.  http://www.cfsph.iastate.edu/Factsheets/ pdfs/ classical_ swine _fever.pdf  [27 Februari 2013].
[DAFF] Department of Agriculture, Fisheries, and Forestry. 2008. http://www.daff.gov.au/animal-plant-health/pests-diseases-weeds/ animal/  swine-fever [27 Februari 2013].
Diarmita IK. 2011. Menyoroti langkah antisipatif kebijakan lokal dengan munculnya hog cholera di kabupaten lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). Buletin vet. XXIII[78]: 1-14.
Horst, H.S, Huirne, RBM, Dlikhauizen. 2000. Risks and economic consequences of introducing classical swine fever into the Netherlands by feeding swill to swine Department of Farm Management, Wageningen Agricultural University. Rev. sci. tech. Off. int.Epiz., 16 (1), 207-214.
[OIE] Office International des Epizooties World Organization. 2009. Classical swine fever (hog cholera) http://www.oie.int/fileadmin/ Home/eng/Animal_Health_in_the_World/docs/pdf/CLASSICAL_SWINE_FEVER_FINAL.pdf  [26 Februari 2013].
[OIE] Office International des Epizooties World Organization. 2011. Classical swine fever. http://www.oie.int/fileadmin/Home/eng/Media_Center/docs/ pdf/Disease_cards/CSF-EN.pdf [27 Februari 2013].
Pattiselanno F. 2005. Peternakan Babi di Manokwari : Mempertahankan Tradisi dan Meningkatkan Taraf Hidup. Papua: Universitas Papua Manokwari.
Ratundima EM, Suartha IN, Mahardika IGNK. 2012. Deteksi antibodi terhadap virus classical swine fever dengan teknik Enzyme-Linked Immunosorbent Assay. Ind. Med. Vet. 1[2]: 217 – 227.
Tarigan S, Bahri S, Sarosa A. 1997. Hog cholera pada babi. Wartazoa 6[1]: 23-32.
Utami S. 2009. Kajian patologi hog cholera kasus outbreak tahun 2006 di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua. [Thesis]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan IPB.