Senin, 08 Juni 2015

kehidupan seorang pascasarjana

hai guys...sudah lama rasanya ga berbagi disini haha
selain sibuk dan pusing ngerjain tugas, rasa males juga melanda..hahaha
yap, tepat banget. kehidupan berubah drastis nih sejak gw memutuskan mengambil pendidikan lagi di pascasarjana IPB.

bagi yang belum tau, saat ini gw mengambil mayor kesehatan masyarakat veteriner yaitu suatu studi bagian dari kedokteran hewan yang fokus terhadap kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan hewan, dapat berupa penyakit menular antara hewan dan manusia (zoonosis) dan juga termasuk penyakit yang dapat diturunkan dari produk turunan hewan seperti daging, susu, telur, dan produk olahannya. karena, fyi guys, penyakit dapat ditularkan even lo udah mengolah produk pangan asal hewan. yaa makanya gw tertarik, at least meskipun gw tar ga kerja di bidang ini bisa bermanfaatlah ya bwt gw untuk jd ibu dan istri yang baik. wkwkwkkw

yak, back to my life, hmmmm s2 sebagaimana di tempat lain, selalu banyak akan tugas, tugas, dan tugas,. 
gw mau cerita, pernah tuh dalam 1 minggu hampir tiap hari tiap dosen  yang masuk ngasi tugas dan tugasnya ga cuman 1 cuy,,ada yg 2 dan disuruh meringkas dan translate buku dan jurnal serta disuruh bikin makalah lagi ttg suatu tema.. huhuuu mana ternyata dikumpul bersamaan. matikkkk deh...!!
cry.....
tapi untungnya terlewati dengan berbagai usaha dan ikhtiarr (lebay) hahaha

sekarang gw akan mengerjakan tugas terakhir gw, tapi jujur malah maleeees banget.. ini entah gw emang kadung males dan pengen cepet liburan atau juga antara gw dah capek kuliah capek nugas dan pengen cepet2 lebaran karena akan merencanakan sesuatu (hahaha apakaah itu??) dan jg gw pengen fokus ke penelitian.
yakk penelitian!!!
ohhhhhh no,,, gw belum samsek ngurusin proposal dll, sementara temen2 gw udah revisi kesekian kali, hik hik
ini gara2nya gw udah bberapa kali ganti buat proposal eh tiap kali buat disuruh ganti krn dosennya ga sreg. huhuhu
cediihhhh!!!
tapi yowes, life must goes on. oke gw akan berusaha bikin dan fokus lagi, tapi mungkin setelah gw menyelesaikan ujian2 UAS gw.. gak terasa udh 2 semester gw s2 hahaha

well baiklah, gw ga tau harus ngomong apalagi. tar gw sambung lain kali.

buat lo lo yang berencana melanjutkan studi s2, ga ada salahnya sih menambah ilmu apalagi kalo dapet beasiswa pasti lebih menyenangkan hehehehe
tapi mungkin kerja lebih enak yaa?bisa dapet duit dan belanja belinji hahaa dasar wanita,

well, see you guys! :*

Minggu, 22 Maret 2015

LEISHMANIASIS PADA MANUSIA DAN PENANGGULANGANNYA

PENDAHULUAN


Latar Belakang

Zoonosis didefinisikan sebagai penyakit menular yang ditularkan kepada manusia secara alamiah dari hewan domestik atau hewan liar dan sebaliknya. Cleaveland et al. (2001) mengidentifikasi adanya 1.415 spesies organisme penyakit yang diketahui bersifat patogen bagi manusia, meliputi 217 virus dan prion, 538 bakteri dan rickettsia, 307 fungi, 66 protozoa, dan 287 parasit cacing. Dari jumlah ini, 872 (61,6%) spesies patogen bersumber dari hewan. Kemudian dari jumlah tersebut, 616 (70,6%) spesies patogen berasal dari ternak dan diantaranya 476 (77,3%) dapat menyerang multispesies ke manusia.
Salah satu agen penyebab penyakit zoonotik yang patut diwaspadai karena telah menjadi masalah bagi kesehatan masyarakat didunia disebabkan oleh parasit protozoa yaitu Leishmania. Leishmaniasis menjadi masalah bagi kesehatan masyarakat karena sangat sulit untuk di kontrol dan sering menyebabkan outbreaks (Camargo dan Langoni 2006). Leishmania dapat menular kepada manusia melalui vektor sehingga dikenal dengan vector-borne disease. Penyakit parasitik ini disebabkan oleh lebih dari 30 spesies Leishmania yang sebagian besar bersifat zoonotik. Pada tahun 2002, World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat sekitar 350 juta orang didunia yang beresiko tinggi terhadap Leishmaniasis dan terdapat sekitar dua juta kasus baru terjadi setiap tahunnya (Banuls 2007).
Pada umumnya penularan Leishmaniasis sebagai zoonosis diperoleh melalui gigitan dari serangga phlebotomi yang dikenal dengan istilah phlebotomine sand flies. Leishmania merupakan protozoa yang bersifat obligat intra makrofag dan endemik pada wilayah tropis, subtropis sampai ke mediterania zoonotik (Chappuis et al. 2007) dan telah tersebar di 61 negara di seluruh dunia (Wang et al. 2011). Pada manusia, kasus Leishmaniasis memiliki bentuk yang berbeda-beda.  Leishmania spp. dapat menyebabkan ulcer dan nodul pada kulit penderita, selain itu juga membentuk mucus pada membran kulit dan juga lesio pada hidung. Pada beberapa spesies lain bahkan dapat menyebabkan kerusakan organ internal. Diantara semua hewan domestik, anjing merupakan spesies paling penting berkaitan dengan epidemiologi dari penyakit Leishmaniasis. Anjing merupakan host reservoir dari L. infantum, salah satu spesies penting yang menyebabkan Leishmaniasis pada manusia.

Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan salah satu penyakit zoonotik penting pada manusia yang disebabkan oleh protozoa yaitu Leishmaniasis sehingga dapat diketahui bagaimana dampak penyakit ini serta bagaimana upaya untuk mengendalikannya.


TINJAUAN PUSTAKA


Etiologi

Leishmaniasis disebabkan oleh infeksi dari berbagai spesies Leishmania, parasit protozoa dari family Trypanosomatidae ordo Kinetoplastida. Sampai saat ini sudah 30 spesies yang menjadi bagian dari Leishmania yang sudah teridentifikasi, dan 20 spesies diantaranya bersifat patogen bagi mamalia. Genus Leishmania terdiri dari dua subgenera, yaitu Leishmania dan Viannia, yang dibedakan berdasarkan tempat berkembang biak di saluran pencernaan dari vektor serangga. Penyebaran paresis Leishmania disebabkan oleh gigitan serangga yang terinfeksi. Gejala klinis yang muncul akibat Leishmaniasis sangat beragam dari gejala ringan pada bagian kulit dan juga gejala yang fatal pada kasus visceral (Dostálová dan Volf 2012).
Human visceral leishmaniasis disebabkan oleh Leishmania donovani dan  L. infantum/ L. chagasi. L. donovani  merupakan anthroponotik yang dapat menular diantara manusia, yang bertindak sebagai host reservoir sedangkan L. infantum memiliki sifat zoonotik. Sebagian besar spesies Leishmania menyebabkan cutaneous leishmaniasis pada manusia. Beberapa strains dari  L. infantum dapat menyebabkan cutaneous leishmaniasis tanpa merusak organ internal.  L. infantum merupakan spesies dari Leishmania yang banyak dilaporkan terjadi pada hewan domestik serta dapat menyerang spesies lain. Sebagaimana vector borne disease lainnya, Leishmaniases sangat erat kaitannya dengn perubahan global serta dinamika dari vektor, reservoir, dan kondisi populasi manusia itu sendiri (González et al. 2010). Lebih lanjut, kondisi ekologi dan distribusi dari phlebotomine sand flies ini terpengaruh langsung oleh variasi iklim dan kondisi lingkungan sekitar (Peterson dan Shaw 2003).

Gambar 1  Leishmania spp. 


Distribusi Geografis

Leishmania dilaporkan telah tersebar disemua benua kecuali Antartika. Pada dasarnya parasit ini endemis ditemukan pada daerah tropis  dan subtropics seperti benua Afrika, sebagian dari Asia, Asia Tengah, Amerika Latin, dan daerah mediteranian. Di wilayah Eropa, Leishmaniasis muncul dan menyebar dengan gejala sederhana.

Transmisi

            Leishmania spp ditransmisikan secara tidak langsung melalui host yatu sanflies dari genus Phlebotomus dan Litzomyia yang bertindak sebagai vektor biologi. Setiap spesies dari Leishmania dapat beradaptasi dengan berbagai tipe dari sandflies. Aktivitas sandflies terjadi saat cuaca cerah tanpa angin dan hujan. Serangga ini aktif pada malam hari tapi tetap dapat menggigit pada siang hari apabila serangga ini berada pada tempat-tempat gelap dan tersembunyi. Transmisi secara transovarial dari Leishmania belum dilaporkan. Selain serangga tipe sandflies, caplak ((Dermacentor variabilis dan Rhipicephalus sanguineus) dan kutu anjing juga dapat bertindak sebagai vektor mekanik.         
Mamalia dapat terinfeksi tanpa menunjukkan gejala klinis, meskipun demikian dalam kondisi subklinis hewan yang terinfeksi dapat menularkan Leishmania melalui serangga sandflies. Parasit ini juga dapat ditularkan melalui transmisi darah pada manusia dan anjing. Pada anjing yang terserang Leishmaniasis, parasit ini juga dapat ditemukan pada saliva, urin, semen, dan sekresi konjungtiva.


Gambar 2  Siklus hidup Leishmania spp. (Chappuis et al. 2007)


PEMBAHASAN


Infeksi pada Manusia

Masa inkubasi

Manusia bisa terinfeksi oleh beberapa jenis Leishmania dalam tubuhnya untuk waktu yang lama, tanpa menimbulkan gejala klinis. Pada manusia, masa inkubasi yang dilaporkan untuk leishmaniasis tipe cutaneous dapat terjaadi dalam 1-2 minggu atau selama beberapa bulan bahkan sampai tiga tahun. Masa inkubasi leishmaniasis tipe visceral adalah 10 hari sampai beberapa tahun. Namun kebanyakan gejala klinis dari Leishmaniasis akan tanpa jelas dalam dua sampai enam bulan.

Gejala klinis

Leishmania memiliki banyak tipe gejala klinis, Chappuis et al. (2007) menyatakan terdapat empat gejala klinis utama yang dapat muncul yaitu cutaneous leishmaniasis; muco-cutaneous leishmaniasis (dikenal sebagai espundia); visceral leishmaniasis (VL dikenal sebagai kala-azar), dan post-kala-azardermal leishmaniasis (PKDL). Namun pada umumnya dikenal dua bentuk leishmaniasis, yaitu cutaneous leishmaniasis yang menyerang bagian kulit dan visceral leishmaniasis (VL) yang menyerang bagian visceral pada manusia. Bentuk penyakit dan tanda-tanda klinis yang biasa bervariasi dengan spesies Leishmania. Beberapa infeksi tetap asimtomatik.

Cutaneous Leishmaniasis atau Leishmaniasis kulit

Leishmaniasis kulit sering melibatkan hanya bagian kulit saja, dan dapat terlihat adanya satu sampai puluhan lesi. Tergantung pada jenis Leishmania yang menginfeksi. Selain itu dapat pula ditemukan adanya ulcer, nodul halus, plak datar atau hiperkeratosis lesi seperti kutil. Lesi awal yang terjadi pada kulit yang terkena sandflies, biasanya muncul papula dan banyak terdapat lesi local. Dalam beberapa kasus, parasit dapat menyebar melalui sistem limfatik dan menghasilkan lesi sekunder pada kulit, atau kadang-kadang mukosa bagian lain dari tubuh. Limfadenopati regional kadang-kadang terjadi. Leishmaniasis kulit biasanya tidak menimbulkan rasa sakit kecuali lesi mengalami infeksi sekunder, dan kecuali dalam telinga, ulkus cenderung tetap terbatas pada kulit dan tidak mempengaruhi jaringan subkutan. Kebanyakan lesi kulit sembuh spontan. Namun, kecepatan penyembuhan bervariasi tergantung oleh spesies Leishmania yang menginfeksi. Dalam beberapa kasus, mungkin diperlukan beberapa bulan sampai satu tahun atau lebih. Beberapa bentuk meninggalkan bekas luka permanen. Individu yang terinfeksi HIV dapat memiliki kasus yang luar biasa parah, dan penyakit ini lebih sulit disembuhkan. Pengobatan steroid atau bentuk lain dari imunosupresi juga dapat menyebabkan penyakit yang luar biasa parah (Suankratay et al. 2010).
Pada kasus leishmaniasis di kulit, nodul seringkali menyebabkan munculnya ulcer yang mereka tersebar luas pada kulit. Parasit ini dapat menyebabkan kerusakan jaringan dalam, dan dapat bertahan dalam waktu lama. Bentuk diffuse dapat tersembuhkan dalam beberapa kasus.
Recidivans leishmaniasis (leishmaniasis lupoid), bentuk yang jarang lain, ditandai dengan perkembangan lesi baru sekitar tepi lesi kulit sembuh. Hal ini paling sering disebabkan oleh L. tropica atau L. braziliensis, dan tidak akan sembuh tanpa pengobatan. Leishmaniasis mukokutan (espundia) biasanya terjadi di Amerika Latin, yang disebabkan oleh L. braziliensis braziliensis dan dalam kasus lebih jarang disebabkan oleh L. panamensis/L. guyanensis. Kejadian leishmaniasis di Asia Tenggara khususnya di Indonesia belum dilaporkan, namun Leishmaniasis cutaneus pernah dilaporkan terjadi di Thailand pada tahun 1996 (Kattipathanapong 2012).
Leishmaniasis mukokutan cenderung terjadi 1 sampai 5 tahun setelah leishmaniasis kulit yang disebabkan oleh organisme ini telah sembuh, tetapi juga dapat dilihat saat lesi kulit masih ada. Tanda-tanda awal ialah terjadi eritema dan ulserasi pada nares, diikuti oleh peradangan destruktif yang dapat menyebar ke melibatkan septum hidung, dan dalam beberapa kasus, faring atau laring. Mimisan sering dapat menjadi tanda awal. Peradangan dapat merusak sekat hidung, menyebabkan cacat parah wajah, atau memblokir faring atau laring. Dalam beberapa kasus, alat kelamin juga mungkin terlibat. Leishmaniasis mukokutan tidak dapat sembuh secara spontan.



Gambar 3. Leishmaniasis tipe cutaneous (dari berbagai sumber)




Visceral leishmaniasis

Leishmaniasis visceral biasanya merupakan tipe yang lebih berbahaya dan seringkali terjadi dalam bentuk kronis di kalangan penduduk daerah endemis. Dalam beberapa kasus (terutama di Afrika), granuloma utama muncul pada kulit sebelum tanda-tanda sistemik. Gejala yang paling umum dari leishmaniasis visceral adalah demam undulant berkepanjangan, penurunan berat badan, nafsu makan menurun, tanda-tanda anemia, dan distensi abdomen dengan splenomegali dan hepatomegali. Infeksi parasite ini dapat menyebabkan kondisi trombositopenia yang dapat terjadinya menyebabkan perdarahan, termasuk petechiae atau perdarahan pada selaput lendir, dan leukopenia dapat mengakibatkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi lain. Gejala lain mungkin termasuk batuk, diare kronis, penggelapan kulit, limfadenopati, dan dalam banyak kasus, muncul tanda-tanda penyakit ginjal kronis. Kasus ringan dengan hanya beberapa gejala dapat sembuh secara spontan. Sebagian besar kasus akhirnya berakibat fatal karena sering terjadi infeksi sekunder dan komplikasi lainnya. Penyakit atau atipikal kasus fulminan juga dapat terjadi, terutama pada pasien koinfeksi dengan HIV. Penderita yang sembuh karena pengobatan akan terus membawa parasit, dan penyakit bisa kambuh jika mereka dalam kondisi imunosupresi. Demikian pula, orang yang terinfeksi dapat membawa parasite dalam tubuhnya tanpa gejala klinis.
Post-kala azar dermal leishmaniasis (PKDL) terjadi setelah pemulihan dalam beberapa kasus leishmaniasis visceral yang disebabkan oleh L. donovani. Sindrom ini ditandai dengan makulopapular, makula atau nodular di sekitar mulut, yang menyebar. Di Afrika, PKLD umum terjadi, biasanya terjadi dalam waktu 6 bulan leishmaniasis visceral, dan biasanya menghilang dalam waktu satu tahun tanpa pengobatan. Di Asia Selatan, sindrom ini relatif jarang, terjadi beberapa tahun setelah leishmaniasis visceral telah sembuh, dan diperlukan berkepanjangan pengobatan. Kejadian leishmaniasis di Asia Tenggara khususnya di Indonesia belum dilaporkan, namun Leishmaniasis visceral pernah dilaporkan terjadi di Thailand pada tahun 1996 (Suankratay 2010).



Gambar 4  Leishmaniasis tipe visceral (berbagai sumber)

Infeksi pada hewan
Spesies yang rentan
Anjing adalah hewan yang paling sering terkena, penyebab yang paling umum adalah L.infantum, meskipun spesies yang lain juga ditemukan. Kasus juga kadang-kadang ditemukan di kucing, kuda, keledai, dan bagal. Dampak Leishmaniasis pada ternak tidak sehebat pada kuda, kasus cutaneus leishmaniasis pernah diisolasi di domba, kambing, dan sapi di Afrika. Leishmania pada babi pernah dilaporkan di Amerika Selatan. Antibodi terhadap Leishmania pernah dilaporkan pada keledai, sapi, dan kambing di Afrika dan babi di Brasil. Pada sapi dan babi yang diinfeksi, tidak dilaporkan adanya gejala klinis. Kasus Leishmaniasis pernah dilaporkan secara sporadis di satwa liar seperti non-human
primates, bush dogs (Speothos venaticus), hoary zorros (Lycalopex vetulus), gray wolves (Canis lupus) and maned wolves (Chrysocyon brachyurus). Some experimentally infected crab-eating foxes (Cerdocyon thous) and red foxes (Vulpes vulpes). Di Australia,Leishmania spp. juga dilaporkan menyebabkan lesio cutaneous di captive kangaroos, wallaroos and wallabies (Macropus spp.).
Setiap spesies Leishmania mempunyai satu atau lebih reservoar primer, walaupun mampu menginfeksi spesies lainnya. Jenis canidae adalah reservoar L.infantum dan anjing adalah spesies yang mampu mempertahankan siklus hidupnya, serts ditemukan juga di satwa liar dari famili Canidae seperti cats, equids, wild agouti (Dasyprocta agouti), white-eared opossums (Didelphis albiventris), Egyptian mongooses (Herpestes ichneumon), genets (Geneta geneta), Iberian lynxes (Lynx pardinus), rodensia dan kelelawar (Carollia perspicillata).

Periode inkubasi

Biasanya asimptomatis, periode inkubasi L.infantum pada anjing antara 3 bulan sampai 7 tahun. Pada beberapa anjing, gejala klinis yang parah terjadi sesaat setelah terinfeksi. Akan tetapi anjing lain tetap tidak menunjukkan gejala klinis sepanjang hidupnya, dan baru memunculkan gejala klinis dalam keadaan immunosupresi.

Gejala klinis
Anjing
Tipe visceral dan cutaneus dapat terjadi secara bersamaan pada anjing, berbeda dibandingkan dengan manusia. Gejala klinis bervariasi dan mirip gejala penyakit lain. Infeksi yang asimptomatis juga dapat muncul. Gejala visceral yang biasanya muncul adalah lethargy, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, anemia, splenomegali, dan limpadenopanthy. Demam yang intermitent dapat muncul. Gejala pendarahan seperti epistaksis, hematuria dan melena juga kadang kadala ditemukan. Gangguan ginjal kronis umum ditemukan pada anjing yang terinfeksi L.infantum. Beberapa hewan memiliki ocular, skin ataupun mucosal lesions, sneezing, diare kronis, muntah, chronic relapsing colitis, chronic hepatitis, osteolytic dan osteoproliferative bone lesions, meningitis, gangguan autoimun, dan gangguan kardiovascular dari pericarditis, thromboembolism, danvasculitis.      
Lesio pada kulit umum ditemukan pada anjing yang terinfeksi tipe visceral, tapi dapat juga terjadi secara terpisah. Bentuk umum lesio cutaneus adalah non-pruritic exfoliative dermatitis pada mata, wajah, telinga dan kaki. Terdapat juga alopecia sekitar mata. Pada beberapa kasus, ditemukan lesio yang menyebar ke seluruh permukaan tubuh. Tipe cutaneus dicirikan dengan nodul, ulkus, dan kerak (scrab) pada anjing. Infeksi sekunder bakteri umum terjadi. Pada anjing dengan lesio cutaneus, kukunya panjang abnormal dan rapuh.

Kucing
Kejadian leishmaniasis tidak umum ditemukan pada kucing. Tipe leishmaniasis yang dilaporkan pada kucing adalah yang tipe cutaneus. Gejala klinis yang muncul adlaah nodul yang terlokalisir, papula, kulit berkerak (crust), dan ulkus pada hidung, telinga, kuping, kelopak mata dan bibir. Mukosa hidung juga dapat terkena dan terjadi perbesaran limfonodus.
Pada kucing sehat yang diinfeksi dengan L. mexicana, lesio kulit akan muncul kembali 2 tahun setelah terapi bedah dan resisten terhadap terapi.

Tes dan Diagnosa

Pada hewan, leishmaniasis dapat didiagnosa melalui pengamatan langsung pada parasite menggunakan Giemsa, Wright’s, Leishman’s atau pewarna lain. Leishmania amastigotes biasanya berbentuk oval, dengan basophilic nucleus dan rod-like kinetoplast ukuran kecil. Biasanya ditemukan dalam makrofag atau pada sel-sel rupture. Pada anjing, amastigotes dapat ditemukan pada limfonodus, limpa, aspirasi sumsum tulang, atau kerokan kulit. Selain itu diagnosa juga dapat menggunakan polymerase chain reaction (PCR) yang dapat mendeteksi Leishmanis spp. pada darah, biopsi kulit, limfonodus, sumsum tulang, dan swab konjungtiva.


Morbiditas dan mortalitas

Leishmaniasis adalah penyakit musiman di daerah beriklim sedang. Infeksi diperoleh dalam bulan-bulan dengan suhu hangat ketika sandflies aktif, dan jumlah kasus berfluktuasi dengan perubahan populasi mereka. Kira-kira 1-1,5 juta kasus leishmaniasis kulit dan 500.000 kasus leishmaniasis visceral diperkirakan terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya. Namun mungkin lebih banyak lagi yang tidak dilaporkan, karena banyak kasus yang tidak terdiagnosis.
Bentuk anthroponotic dari leishmaniasis visceral, yang disebabkan oleh L. donovani, dapat mempengaruhi semua usia. Orang sehat tidak terlalu rentan terhadap L. infantum, yang menyebabkan bentuk zoonosis penyakit ini. Infeksi tanpa gejala umum terjadi, dan penyakit ini cenderung terjadi terutama pada anak-anak, atau orang-orang yang kekurangan gizi atau imunosupresi. Kasus Angka kematian penyakit tidak diobati adalah 75-95%. Parasit mungkin bertahan setelah kesembuhan klinis, dan gejala dapat muncul kembali jika individu menjadi imunosupresi. Bahkan dengan perawatan yang baik, sekitar setengah dari pasien yang terinfeksi HIV kambuh antara 1 bulan dan 3 tahun kemudian.

Pengobatan

Leishmaniasis bentuk kulit dan visceral biasanya dapat disembuhkan pada individu dengan imunitas yang baik.  Antimonials pentavalent dapat digunakan untuk mengobati kasus ini. Obat lain seperti allupurinol, amfoterisin B atau liposomal amfoterisin B, dan miltefosine juga dapat digunakan. Sebagian besar obat yang digunakan untuk mengobati leishmaniasis harus diberikan secara parenteral. Leishmaniasis visceral pada pasien AIDS sering resisten terhadap pengobatan, dan banyak pasien kambuh.
Leishmaniasis kulit harus diobati dengan segera untuk mempercepat penyembuhan, mengurangi jaringan parut dan mengurangi risiko penyakit mukosa atau kambuh. Intralesi, topikal atau obat sistemik dapat digunakan untuk pengobatan, tergantung pada jenis Leishmania dan risiko komplikasi yang lebih serius. Cryotherapy, thermotherapy, atau kuretase juga telah digunakan dalam beberapa kasus. Beberapa lesi leishmaniasis kulit mungkin hanya dapat diamati, jika mereka disebabkan oleh organisme yang relatif jinak. Leishmaniasis mukosa adalah kondisi serius dan diobati dengan obat sistemik.

Pencegahan

Langkah-langkah pencegahan dilakukan terhadap sandflies termasuk menggunakan penolak serangga dan usahakan untuk tinggal di lantai yang lebih tinggi. Penggunaan kipas angin juga dapat membantu mengurangi kemampuan terbang serangga ini, serta dapat pula menggunakan semprotan insektisida untuk membunuh serangga di dalam rumah. Penggunaan kelambu dengan insektisida dapat mengurangi risiko gigitan dari serangga ini di malam hari. Kelambu saja tanpa perlakuan apa-apa umumnya tidak berguna: sandflies sangat kecil dan dapat melewati mesh yang paling kecil, sedangkan kelambu dengan mesh yang sangat sempit mungkin terlalu panas di iklim hangat. Insektisida seprai, tirai jendela dan cat slow release juga telah digunakan. Penyemprotan insektisida program telah dilakukan di beberapa negara.
Pengobatan pasien manusia dapat membantu di daerah di mana transmisi anthroponotic penting. Penurunan kejadian L. infantum pada anjing dapat membantu melindungi orang dari organisme ini. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa collar yang mengandung insektisida dapat mengurangi kasus pada anjing dan anak-anak di daerah di mana collar ini digunakan. Anjing yang terinfeksi telah dimusnahkan di beberapa negara; Namun, ada keraguan tentang kemanjuran program ini, dan di beberapa negara, program tersebut juga tidak akan diterima. Banyak spesies Leishmania, terutama spesies yang menyebabkan leishmaniasis kulit, memiliki hewan liar sebagai host utama parasit ini. Satu-satunya cara praktis untuk menurunkan kejadian penyakit ini adalah perlindungan pribadi dengan penolak serangga dan tindakan lainnya

SIMPULAN
Leishmaniasis merupakan salah satu zoonosis bersumber protozoa yang dapat menyerang manusia dan hewan diberbagai wilayah di banyak belahan dunia. Dampak yang ditimbulkan sangat luas pada masyarakat dan dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat dalam berbagai usia dengan gejala klinis yang bermacam-macam. Pencegahan adalah upaya terbaik agar terhindar dari penyakit ini.
DAFTAR PUSTAKA
Banuls AL, Hide M, Prugnolle F. 2007. Leishmania and the Leishmaniases: A parasite genetic update and advances in taxonomy, epidemiology and pathogenicity in humans. advances in parasitology 64:1-109.

Brito FLC, Alves LC, Maia FLC, Santos FSC, Laus FS, Meunier IMJ. 2006. Ocular alterations in dogs naturally infected byLeishmania (Leishmania) chagasi. Arq. Bras. Med. Vet. Zootec. 58(5): 11-16.

Camargo Lb, Langoni H. 2006. Impact of leishmaniasis on public health. J. Venom. Anim. Toxins incl. Trop. Dis. 12(4):527-548.

Chappuis F, Sundar S, Hailu A, Ghalib H, Rijal S, Peeling RW, Alvar J, Boelaert M. 2007. Visceral leishmaniasis: what are the needs for diagnosis, treatment and control?. Nature Reviews 5:873-882.

Cleaveland S, Laurenson MK, Taylor LH. (2001). Diseases of humans and their domestic mammals: pathogen characteristics, host range and the risk of emergency. Philos. Trans. roy. Soc. Lond., B, biol. Sci., 356 (1411), 991-999.

Dostálová A, Volf P. 2012. Leishmania development in sand flies:parasite-vector interactions overview. Parasites & Vectors 5:276. Terhubung berkala: http://www.parasitesandvectors.com/content/5/1/276 [13 Maret 2015].

González C, Wang O, Strutz SE, González SC, Sánchez CV, Sarkar S. 2010. Climate change and risk of leishmaniasis in North America: predictions from ecological niche models of vector and reservoir species. Trop. Dis. 4: 5-85.

Kattipathanapong P, Akaraphanth R, Krudsood S, Riganti M, Viriyavejakul P. 2012. The first reported case of autochthonous cutaneous leishmaniasis in Thailand. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 43 (1): 17-20.

Petersen CA. 2009. New means of canine leishmaniasis transmission in North America: the possibility of transmission to humans still unknown. Interdiscip Perspect Infect Dis. 4:51-58.

Rose K, Curtis J, Baldwin T. 2004. Cutaneous leishmaniasis in red kangaroos: isolation and characterisation of the causative organisms. Int J Parasitol 34:655–664.

Suankratay C, Suwanpimolkul G, Wilde H, Siriyasatien P. 2010. Case report: autochthonous visceral leishmaniasis in a human immunodeficiency virus (hiv)-infected patient: the first in thailand and review of the literature. Am. J. Trop. Med. Hyg., 82(1):4–8.


Wang JY, Ha Y, Gao CH, Wang Y, Yang YT, Chen HT. 2011.The prevalence of canine Leishmania infantum infection in western China detected by PCR and serological tests. Parasites & Vectors (1):1-8.

Minggu, 08 Maret 2015

KEBERADAAN Alcaligenes faecalis SEBAGAI BAKTERI PEMBUSUK PADA PRODUK SUSU

Haiii insan veteriner apa kabarnyaaa ??? ^.^
wish you all in the good feeling, like me! hihihi

kali ini gw mau share salah satu bakteri yang bersifat sebagai bakteri pembusuk pada produk susu. As we know ya, susu kan memang salah satu bahan makanan yanggg penuhhhhhh gizi dan mudah dicerna.. karena gizi yang banyak itulaah kayaknya gak cuman kita nih yg berebut minumm susu...makhluk2 mikrobiologi jg berebuut susu ternyata. hihhhi :P

Mungkin ada yang baru denger nama bakteri ini, yup memangg sih bakteri ini kalah tenar ama bakteri2 pembusuk lain yang lebih sering kita denger kayak Aeromonas sp, Pseudomonas sp, atau Streptococcus dll. Tapi buat temen2 yg sering berkecimpung dibidang per-susu-an nama bakteri ini mgkn udah ga asing lagi. Yup, drpd berlama-lama kita baca2 yukkkk ^^


Latar Belakang

Keamanan pangan merupakan salah satu hal penting dalam kesehatan masyarakat terutama berkaitan dengan produk pangan asal hewan. Hal tersebut berhubungan dengan keamanan produk baik dari nilai gizi maupun kandungan mikrobiologinya. Masalah keamanan pangan dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi sejak peternakan sampai tiba di meja makan (from farm to table) serta pada hal-hal yang berkaitan dengan alur pengolahan produk. Kesadaran konsumen untuk memperoleh produk pangan asal hewan khususnya susu dengan keamanan tinggi mulai menjadi perhatian terutama mengenai bagaimana perlakuan terhadap produk susu pada unit-unit pengolahan susu, baik dalam skala industri maupun skala kecil. Susu segar merupakan bahan pangan yang sangat tinggi gizinya, bukan saja bagi manusia dan hewan, tetapi juga mikroorganisme (Rasolofo et al. 2011). Penanganan yang baik diperlukan untuk memperoleh susu segar yang aman dikonsumsi. Program peningkatan produksi susu dan produk olahannya harus sejalan dengan peningkatan mutu dan keamanan pangan.
Salah satu faktor penting yang mendukung terciptanya keamanan pangan adalah kondisi sanitasi dan higiene pengolahan pangan. Secara alami mikroorganisme dapat ditemukan dalam susu, tetapi jumlah mikroorganisme akan bertambah seiring dengan adanya kontaminasi dari tangan dan baju pemerah, kandang, peralatan dalam proses pemerahan susu, dan penyakit tertentu pada hewan (Jorgensen et al. 2005). Jumlah mikroorganisme dapat meningkat mencapai 100 kali lipat atau lebih dari jumlah mikroorganisme awal saat susu disimpan pada suhu 25 ºC dalam waktu yang lama. Peningkatan jumlah mikroorganisme tersebut kurang dari 1000 sel per ml pada susu yang berasal dari ambing yang sehat (Chye et al. 2004). Kontaminasi bakteri dimulai saat pemerahan dan dapat berkembang menjadi dua kali lipat setiap setengah jam pada suhu 25 ºC dan pH 6.0-6.5 (Millogo et al. 2010).
Susu merupakan bahan pangan yang mudah rusak dan mudah terkontaminasi bakteri sehingga dapat menyebabkan susu menjadi tidak dapat diolah lebih lanjut atau bahkan tidak layak lagi dikonsumsi oleh manusia (Jay et al. 2005). Kualitas susu ditentukan oleh beberapa faktor salah satunya ialah faktor kebersihan lingkungan yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan. Kualitas susu merupakan hal yang sangat penting dalam rangka penyediaan susu dan hasil olahannya yang sehat untuk konsumen. Dalam upaya menjamin kesehatan konsumen untuk mendapatkan susu berkualitas baik, maka diperlukan standar yang mengatur syarat–syarat, tata cara pengawasan dan pemeriksaan kualitas susu produksi dalam negeri. Sampai saat ini di Indonesia menggunakan Standar Nasional Indonesia No. 01–3141–2011, tentang Susu Segar. Dalam standar tersebut, persyaratan jumlah total bakteri dalam susu segar maksimun 106 cfu/ml.
Penanganan susu yang tidak baik dapat mengakibatkan susu akan lebih cepat rusak. Namun, kontaminasi mikroorganisme pembusuk seperti Alcalines faecalis dalam susu seringkali tidak diperhitungkan oleh konsumen karena tidak banyak menimbulkan kasus yang fatal. Padahal, keberadaan bakteri Alcalines faecalis di dalam susu menunjukkan telah terjadi kontaminasi karena perlakuan sanitasi yang tidak baik selama persiapan produk maupun pengolahan karena bakteri ini pada umumnya dapat ditemukan dalam permukaan tanah dan air serta dapat pula diisolasi dari urin, feses, dan darah (Kavuncuoglu et al. 2010).
  

Menurut Badan Standarisasi Nasional (2011) tentang Susu Segar, definisi susu segar (raw milk) adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali pendinginan. Susu merupakan produk pangan bernutrisi tinggi sehingga sangat baik untuk kesehatan manusia dan hewan. Susu sering dimanfaatkan sebagai media pertumbuhan mikroorganisme baik bersifat pembusuk maupun patogen karena kandungan nutrisinya (Hill et al. 2012).
Menurut Walstra et al. (2006), susu sapi mengandung air sebanyak 87.1%, laktosa 4.6%, lemak 4%, protein 3.3%, mineral 0.7%, kalsium 210 mg, dan energi sebanyak 117 kkal. Laktosa merupakan karbohidrat utama yang terdapat pada susu yang terdiri dari glukosa dan galaktosa. Kandungan terbesar kedua yaitu lemak. Kandungan lemak pada susu sangat bergantung pada faktor hewan dan faktor makanan. Faktor hewan yang mempengaruhi kandungan lemak pada susu antara lain genetik, periode laktasi, fermentasi di rumen, dan keberadaan infeksi pada ternak. Protein susu terdiri dari 80% kasein. Protein lain yang terdapat pada susu adalah serum protein yang terdiri dari α-lactalbumin, β-lactoglobulin, serum albumin, immunoglobulin, dan enzim (Claeys et al. 2013). Mineral yang terkandung pada susu antara lain K, Na, Ca, Mg, Cl, dan phospat. Sedangkan vitamin yang terkandung pada susu antara lain A, B1, B2, B3, B5, B6, B12, C, D, dan E. Susu memiliki aw 0.99 dengan pH berkisar 6.4 hingga 6.6. Nilai  aw, pH, dan kandungan nutrisi yang banyak pada susu menyebabkan susu menjadi media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.


Pencemaran Susu

Pencemaran pada susu dapat terjadi akibat adanya agen kimia, fisik, dan biologis yang dapat merugikan dan membahayakan konsumen. Salah satu kontaminasi biologis adalah keberadaan mikroorganisme pencemar. Keberadaan mikroorganisme pencemar baik bersifat pembusuk maupun patogen pada susu dapat mengakibatkan kerusakan susu, menimbulkan penyakit (terutama penyakit saluran pencernaan) bahkan keracunan bagi manusia (Oliver et al. 2005).  Bakteri pembusuk mengakibatkan penuruan kualitas susu dan memperpendek daya simpan, sedangkan bakteri patogen mengakibatkan gangguan kesehatan bagi konsumen akibat mengonsumsi susu.
Mutu mikrobiologik susu ditentukan oleh jumlah dan jenis mikroorganisme yang ada dalam susu, yang secara langsung akan mempengaruhi daya simpan dan kelayakan produk untuk dikonsumsi (Handayani & Purwanti 2010). Mikroorganisme tersebut juga dapat menyebabkan penurunan masa kadaluarsa produk olahan susu. Jumlah dan jenis mikroorganisme dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti lingkungan tempat pengolahan pangan asal hewan terutama susu, kondisi sanitasi dan kondisi pengemasan serta penyimpanan pangan asal hewan. Rofi’i (2009) menyatakan bahwa kemampuan mikroorganisme pencemar untuk tumbuh dan melakukan aktivitas enzimatis dipengaruhi oleh suhu dan lama penyimpanan susu.


Karakteristik Bakteri Alcaligenes faecalis sebagai Bakteri Pembusuk pada Susu

Pembusukan pada susu dapat terjadi karena adanya proses pemecahan dari laktosa, senyawa protein, asam lemak (jenuh), dan hidrolisis trigliserida. Susu yang mengalami perlakuan pendinginan sesaat setelah pemerahan kemudian disimpan selama beberapa hari maka proses pembusukan akan didominasi oleh bakteri Gram-negatif berbentuk batang dan bersifat psikotropik, seperti Alcaligenes sp., Pseudomonas sp., Flavobacterium spp., serta beberapa jenis coliform. Adanya bakteri psikotropik dalam jumlah besar dapat menyebabkan timbulnya berbagai macam bau dan kerusakan fisik pangan (Dilbaghi  & Sharma 2007).
Alcaligenes sp. seringkali menjadi bakteri kontaminan pada pasca-pasteurisasi sehingga dapat menyebabkan pembusukan pada susu pasteurisasi. Alcaligenes sp. merupakan spesies bersifat laktosa-negatif yang akan memetabolisme senyawa protein sehingga dapat mengubah rasa normal susu menjadi terasa pahit (Cempírková 2002). Tanda-tanda pembusukan susu antara lain adanya perubahan rasa susu menjadi asam, susu menggumpal, terbentuknya gas, terbentuknya lendir, adanya perubahan rasa menjadi tengik, tumbuhnya kapang pada produk olahan susu. Bakteri Alcaligenes sp. merupakan bakteri pembusuk namun dapat menjadi patogen dalam keadaan tertentu.  Meskipun genus Alcaligenes terdiri dari banyak spesies, namun kasus pencemaran pada susu sering disebabkan oleh spesies Alcaligenes faecalis.
Alcaligenes faecalis merupakan bakteri Gram-negatif bersifat aerob dan merupakan bakteri berbentuk batang tak berpigmen. Karakteristik ini membedakannya dengan pseudomonas. Spesies ini bersifat motil dengan satu atau lebih flagela. Bakteri dari famili Achromobacter ini tidak berkapsul, tidak membentuk spora, dan tumbuh dengan lambat (Kavuncuoglu et al. 2010).  Bakteri Alcaligenes faecalis dapat umum ditemukan di lingkungan yaitu pada tanah dan air, serta dapat pula ditemukan pada saluran pencernaan. Selain itu, bakteri ini dapat ditemukan pada sampel dari darah, urin, dan feses (Latt et al. 2013).
Menurut Mordi et al. (2013), bakteri  Alcaligenes faecalis  bersifat oksidase, sitrat, dan katalase positif dan mampu menurunkan urea dan memproduksi amonia yang meningkatkan pH lingkungan. Alcaligenes sp. memiliki enzim lipolitik, seperti lipase, yang  menghidrolisis trigliserida menjadi asam lemak dan gliserol. Pemecahan asam lemak bebas ini akan menyebabkan perubahan rasa/tengik.  Beberapa Alcaligenes sp. juga dapat menyebabkan kekentalan (sliminess) karena memproduksi polisakarida yang kental.

Sumber Kontaminasi Alcaligenes faecalis

Sejak dimulainya reformasi teknologi pada penyimpanan susu yaitu berupa proses pendinginan dan penyimpanan dingin pada susu segar, kualitas mikrobiologis susu menjadi lebih baik. Pengasaman susu mentah yang disebabkan oleh bakteri asam laktat terutama dan bakteri mesofilik mulai berkurang. Namun waktu penyimpanan susu segar yang diperpanjang pada suhu rendah (2-6 ° C) memiliki pengaruh signifikan terhadap munculnya populasi mikroba lain. Susu segar yang dahulu didominasi oleh pencemaran Gram-positif mesofilik dan bakteri aerobik digantikan oleh Gram-negatif dan bakteri Gram-positif psikotropik. Dominasi bakteri psikotropik lebih jelas ditemukan saat susu diolah dalam kondisi kebersihan yang buruk.
Mikroorganisme psikotropik seperti Alcaligenes faecalis memiliki peran besar dalam kontaminasi susu segar, karena bakteri ini mampu berkembang biak tidak hanya di moderat (25-30˚C), tetapi juga pada suhu rendah (7-10˚C). Hal demikian menjelaskan mengapa proses pendinginan pada susu tidak dapat mencegah perkembangan mikroorganisme ini. Keberadaan bakteri Alcaligenes faecalis yang umum ditemukan di lingkungan tanah dan air sehingga pencemaran dapat terjadi melalui air yang digunakan untuk pembersihan dan sanitasi peralatan pemerahan, perkakas rumah tanggas dan juga tempat tidur, serta kulit binatang (Olga & Mariia 2011). Hal demikian menggambarkan bahwa kemungkinan pencemaran Alcaligenes faecalis pada susu dapat terjadi berkaitan erat dengan kondisi sanitasi kandang, peralatan kandang, lingkungan sekitar kandang, serta terutama higine personal pekerja kandang saat proses perlakuan susu.

  
PEMBAHASAN

Kualitas akhir susu dipengaruhi oleh jumlah mikroorganisme awal, kondisi pengolahan, dan pencemaran yang terjadi setelah pengolahan. Kualitas susu merupakan hal yang sangat penting dalam rangka penyediaan susu dan hasil olahannya yang sehat untuk konsumen. Mikroorganisme pencemar susu umumnya dapat dengan mudah ditemukan pada tanah, air, dan udara. Selain berpengaruh pada kualitas susu, pencemaran oleh mikroorganisme juga merupakan bahaya bagi keamanan pangan terkait dengan kesehatan masyarakat. Hal ini dikarenakan keberadaan mikroorganisme pencemar baik bersifat pembusuk maupun patogen pada susu dapat mengakibatkan kerusakan susu, dan dapat menimbulkan penyakit terutama berkaitan dengan saluran pencernaan bahkan dapat mengakibatkan keracunan bagi manusia yang mengkonsumsinya.
Mutu mikrobiologik susu ditentukan oleh jumlah dan jenis mikroorganisme yang ada dalam susu, yang secara langsung akan mempengaruhi daya simpan dan kelayakan produk untuk dikonsumsi. Bakteri Alcaligenes faecalis merupakan bakteri pencemar susu yang bersifat psikotropik yang mampu hidup dan berkembang tidak hanya pada suhu moderat (25-30˚C), tetapi juga pada suhu rendah (7-10˚C). Oleh karena itu, bakteri ini dapat menjadi ancaman terbesar pada produk susu terutama susu dalam pengemasan pada kondisi dingin yang memiliki masa penyimpanan panjang serta susu pasteurisasi yang umumnya hanya membutuhkan sedikit atau bahkan tidak membutuhkan pemanasan kembali sebelum dikonsumsi. Menurut Hutagaol (2013), proses pasteurisasi cukup efektif untuk mengurangi jumlah mikroorganisme pada susu. Namun demikian, risiko pencemaran pada susu tidak berhenti pada proses ini. Keberadaan bakteri Alcaligenes faecalis pada susu justru seringkali disebabkan oleh pencemaran pasca perlakuan pasteurisasi, karena pasca pasteurisasi susu akan disimpan dalam kondisi rantai dingin padahal proses pendinginan pada susu tidak dapat mencegah perkembangan mikroorganisme ini (Samaržija et al. 2012). Pada industri susu dalam skala besar, apabila bakteri ini mencemari cold storage dimana susu disimpan dalam volume besar maka akan sangat merugikan apabila susu menjadi rusak.
Kasus pencemaran susu oleh bakteri Alcaligenes faecalis belum banyak dilaporkan, terutama di Indonesia. Padahal pencemaran produk susu oleh bakteri ini dapat merusak susu dan mengurangi mutu dan kualitas susu sehingga berkaitan dengan nilai ekonomi dari penjualan susu. Pada beberapa kasus, bakteri Alcaligenes sp. bahkan dapat menjadi patogen bagi masyarakat. Kim et al. (2008) menyatakan bahwa strain dari Alcaligenes sp. menyebabkan infeksi pembuluh darah pada penderita immunocompromised. Kavuncuoglu et al. (2010) menyatakan bahwa bakteri Alcaligenes faecalis menjadi penyebab dari peritonitis dan penyakit lain seperti meningitis, peritonitis, enteric fever, appendicitis, cystitis, chronic suppurative otitis media, abscesses, arthritis, pneumonitis, dan endocarditis namun jarang terjadi.
Cleto et al. (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa bakteri Alcaligenes sp. menempati urutan kelima dari bakteri pencemar yang ditemukan pada peralatan processing susu setelah Pseudomonas spp. (37%); Staphylococcus (20%); Serratia spp. (16%), dan Stenotrophomonas sp. (15%). Kemungkinan lain pencemaran Alcaligenes sp. juga terjadi dalam saluran pengolahan susu yang terkontaminasi oleh hewan atau pakan hewan. Selain itu dapat pula ditemukan pada tanki pengumpulan susu yang selalu berada pada suhu 4ºC.
 Olga dan Mariia (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa bakteri psikotropik memiliki proporsi besar dari susu yang diperoleh dari perlakuan tradisional. Alcaligenes sp. ditemukan sebanyak 25,50 % dari total bakteri dengan sifat psikotropik. Bakteri pasikotropik dapat menyebabkan kualitas susu menjadi buruk apabila jumlah bakteri ini 100 × 103 sel/cm3. Buruknya kualitas susu segar akan berpengaruh pada pengolahan selanjutnya yaitu keju dan susu kemasan.
Vasut dan Robeci (2009) menyatakan bahwa bakteri dengan sifat psikotropik memiliki kemampuan untuk memproduksi dan memecahkan lipase serta menghidrolisis lemak. Konsekuensi dari aktivitas lipolitik dari bakteri ini mneyebabkan perubahan pada organoleptik susu. Sifat inilahyang  juga dimiliki oleh Alcaligenes faecalis. Alcaligenes sp. memiliki enzim lipolitik, seperti lipase, yang  menghidrolisis trigliserida menjadi asam lemak dan gliserol. Pemecahan asam lemak bebas ini akan menyebabkan perubahan rasa/tengik.  Beberapa Alcaligenes sp. juga dapat menyebabkan kekentalan (sliminess) karena memproduksi polisakarida yang kental. Selain itu, bakteri ini memproduksi amonia sehingga mempengaruhi susu menjadi berbau busuk dan kemampuannya meningkatkan pH sehingga susu menjadi asam. Hal ini menurunkan cita rasa susu serta kualitas susu secara keseluruhan. Kondisi ini diperburuk dengan kemampuan Alcaligenes faecalis dapat bertahan pada setiap musim dimana bakteri lain tidak toleran terhadap perubahan musim (Prakashveni &  Jagadeesan 2012).
Pada umumnya, bakteri Alcaligenes faecalis dapat ditemukan di lingkungan yaitu pada tanah dan air, serta dapat pula ditemukan pada saluran pencernaan. Dengan demikian, apabila bakteri ini dapat ditemukan pada susu mengindikasikan bahwa higiene dan sanitasi selama proses perlakuan dan pengolahan susu tidak terlaksana dengan baik. Kondisi ini sekaligus menggambarkan kemungkinan pencemaran Alcaligenes faecalis pada susu dapat terjadi berkaitan erat dengan kondisi sanitasi kandang, peralatan kandang, lingkungan sekitar kandang, serta terutama higine personal pekerja kandang saat proses perlakuan susu. Hal ini didukung oleh Samaržija et al. (2012) bahwa sumber pencemaran dari bakteri psikotropik berasal dari air buangan peralatan pemerahan susu, saluran air, ambing dan puting yang kotor dan tidak bersihnya permukaan dari peralatan dan perlengkapan pengolahan susu dimulai dari penerimaan, transportasi hingga penyimpanan.
Tindakan pencegahan dan pengendalian terhadap pencemaran dari Alcaligenes faecalis dapat dilakukan dengan melihat berbagai aspek kemungkinan pencemaran terjadi yaitu dimulai dari aspek peternakan, pekerja yang menangani susu, serta pengolahan yang dilakukan pada susu untuk mengurangi kontaminasi. Penerapan higiene dan sanitasi juga merupakan bagian yang sangat penting untuk diterapkan pada personal pekerja, saat proses, maupun pada peralatan. Sanitasi lingkungan pengolahan susu ikut memegang peranan penting karena kemampuan bakteri ini untuk bertahan di lingkungan air dan tanah.
Aturan utama yaitu menghindari paparan air pada produk susu. Seringkali di peternakan para peternak hanya membersihkan wadah penampung susu dengan air sementara tidak diketahui bagaimana status mikrobiologi dari air yang digunakan sehingga justru menjadi sumber pencemaran. Air yang digunakan untuk pemerahan sebaiknya air yang telah mendapatkan perlakuan untuk mengeliminasi bakteri patogen yang terdapat pada air tersebut. Tindakan klorinisasi air dapat dilakukan untuk mencegah kontaminasi.
 Selain itu, upaya yang paling penting dapat dilakukan yaitu melalui proses pasteurisasi. Pasteurisasi dapat dilakukan dengan pemanasan 63°C selama 30 menit atau 72°C selama 15 detik. Tindakan pasteurisasi pada susu harus dilakukan dengan sempurna untuk menjamin mikroorganisme yang terdapat pada susu tersebut benar-benar mati. Proses pasteurisasi yang tidak sempurna justru berisiko terhadap tetap bertahannya bakteri-bakteri pembusuk pada susu. Namun harus dipastikan bahwa setelah itu susu dikemas dalam kemasan steril dan selalu dipantau agar tidak mengalami pencemaran kembali.  
Seperti dijelaskan diawal, bahwa Alcaligenes faecalis dapat ditemukan pada saluran pencernaan sehingga bakteri ini dapat ditemukan pada feses sapi. Kontaminasi bakteri Alcaligenes faecalis  dapat terjadi akibat kontaminasi dari feses sapi. Oleh karena itu sangat diperlukan tindakan higiene selama proses pemerahan untuk mengurangi kontaminasi feses selama pemerahan. Tindakan ini dapat dilakukan dengan membersihkan ternak terlebih dahulu sebelum pemerahan dilakukan. Selain itu desinfeksi puting juga dapat dilakukan untuk mengurangi kontaminasi selama pemerahan.
Peralatan pemerahan juga merupakan salah satu sumber pencemaran. Oleh karena itu diperlukan tindakan desinfeksi pada peralatan sebelum pemerahan dilakukan untuk mempertahankan higiene peralatan. Penerapan tindakan higienis selama produksi, pemprosesan, dan penyimpanan memegang peranan penting untuk mencegah kontaminnasi. Penerapan sanitasi yang ketat di peternakan, tempat pemprosesan, dan penyimpanan turut berperan mengurangi risiko pencemaran  Alcaligenes faecalis.
Pencegahan dan pengendalian pencemara Alcaligenes faecalis memerlukan tindakan monitoring dan surveilans rutin. Hal ini disebabkan oleh kerugian yang mungkin muncul akibat kerusakan pada susu sehingga menurunkan kualitas dan nilai ekonomi penjualan susu. Meskipun bakteri ini belum menjadi fokus utama pada sejumlah perusahaan besar, namun tindakan ini diperlukan untuk mengetahui sejauh mana kemungkinan pencemaran oleh bakteri pembusuk pada susu dapat terjadi sehingga dapat meminimalkan risiko yang terjadi.
   
SIMPULAN

Alcaligenes faecalissecara alami terdapat di lingkungan yaitu pada air dan tanah serta dapat ditemukan pada saluran pencernaan serta feses dan urin. Bakteri ini juga dan memiliki kemampuan untuk hidup dan berkembang biak ini mampu berkembang biak tidak hanya pada moderat, tetapi juga pada suhu. Bakteri ini dapat mengkontaminasi susu berkaitan dengan pencemaran akibat pelaksanaan higiene sanitasi dari pekerja dan peralatan pemerahan susu yang kurang baik.
Oleh karena itu sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan peternak dan pihak-pihak terkait dengan proses pengolahan pasca pemerahan susu mengenai upaya-upaya keamanan pangan serta pencemaran bakteri pembusuk yang mungkin terjadi saat pengolahan, pengemasan, transportasi, penyimpanan produk susu. Selain itu dengan menerapkan tindakan higiene produksi, higiene peralatan, higiene personal, dan sanitasi kandang. Monitoring dan surveilans secara rutin juga dibutuhkan untuk mencegah pencemaran bakteri pembusuk yang menurukan kualitas susu.
  
DAFTAR PUSTAKA

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2011. Susu Segar. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Cempírková R. 2002.  Psychrotrophic vs. Total Bacterial Counts in Bulk Milk Samples. Vet. Med. – Czech, 47, 2002 (8): 227–233.
Chye FY, Abdullah A, Ayob MK. 2004. Bacteriological quality and safety of raw milk in Malaysia. Food Microbiol 131: 30-39.
Cleto S, Matos S,  Kluskens L, Vieira MJ. 2012. Characterization of Contaminants from a Sanitized Milk Processing Plant. LoS ONE 7(6): e40189.
Dilbaghi  N, Sharma S. 2007.  Food spoilage, food infections and intoxications caused by microorganisms and methods for their detection. International Journal of Food. Microbiology (8): 121–132.
Handayani KS, Purwanti M. 2010. Kesehatan ambing dan higiene pemerahan di peternakan sapi perah Desa Pasir Buncir, Kecamatan Caringin. J Penyuluh Per 5(1):47–54.
Hill B, Smythe B, Lindsay D, Shepherd J. 2012. Microbiology of raw milk in New Zealand. Int J Food Microbiol. 157(2):305-8.
Hutagaol FVA. 2013.  Kualitas Mikrobiologis Susu Sebelum dan Sesudah Pasteurisasi [Skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Jørgensen HJ, Mørk T, Rørvik LM. 2005. The occurrence of Staphylococcus aureus on a farm with small scale production of raw milk cheese. Journal of Dairy Science 88:3810-3817.
Kavuncuoglu F, Unal A, Oguzhan N, Tokgoz B, Oymak O, Utas C. 2010. First Reported Case of Alcaligenes faecalis Peritonitis. Peritoneal Dialysis International, Vol. 30, pp. 112–121.
Kim MJ, Bancroft E, Lehnkering E, Donlan RM, Mascola L. 2008. Alcaligenes xylosoxidans Bloodstream Infections in Outpatient Oncology Office. Emerging Infectious Diseases Vol. 14, No. 7, July 2008.
Latt ZK, Yu SS, Lynn TM. 2013. Enhancement of Cellulolytic Nitrogen Fixing Activity of Alcaligenes sp. by MNNG Mutagenesis. International Journal of Innovation and Applied Studies Vol. 3 No. 4 Aug. 2013, pp. 979-986.\
Millogo V, Sjaunja S, Ouédraogo GA, Agenäs S. 2010. Raw milk hygiene at farms, processing units and local markets in Burkino Faso. Food Control 21: 1070–1074.
Mordi RM, Yusuf EO, Onemu SO, Igeleke CL, Odjadjare EE. 2013. The Prevalence Of Alcaligenes Faecalis in Bacteremia, Meningitis and Wound Sepsis in a Tertiary Health Care Institutions in Western Part of Nigeria. The International Journal of Biotechnology 2013:2(7):123-129.
Olga Y, Mariia G. 2011.  Contamination of Bulk Milk by Psychrotrophic Microorganisms’ During Milking and Milk Processing . web.nubip.edu.ua/index.php/ebql/article/.../pdf. [Diakses pada 11 November 2014].
Oliver SP, Jayarao BM, Almeida RA. 2005. Foodborne pathogens in milk and dairy farm environtment: food safety and public health implications. Foodborne Pathogens and Disease 2:115-129.
Jay JM, Loessner MJ, Golden DA. 2005. Modern Food Microbiol. Ed. Ke-7. California (US): Business Media Inc.
Pathak H, Bhatnagar K. 2011. Alcaligenes-The 4T Engine Oil Degrader. J Bioremed Biodegrad 2011, 2:4.
Rasolofo EA, St-Gelais D, Lapointe G, Roy D. 2011. Molecular analysis of bacterial population structure and dynamics during cold storage of untreated and treated milk. International Journal of Food Microbiology 28:465-471.
Samaržija D,   Zamberlin S,  Pogačić T. 2012. Psychrotrophic bacteria and milk quality, Mljekarstvo 62 (2), 77-95 (2012).
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2011. N0. SNI 01–3141–2011. Susu Segar. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional.
Prakashveni R, Jagadeesan M. 2012. Isolation identification and distribution of bacteria in Dairy Effluent. Adv. Appl. Sci. Res., 2012, 3(3):1316-1318.
Rofi’i K. 2009. Hubungan Antara Jumlah Total Bakteri dan Angka Katalase Terhadap Daya Tahan Susu [Skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
VASUT RG, ROBECI MD. 2009. Food Contamination with Psyhcrophilic Bacteria. Lucrări Stiinłifice Medicină Veterinară VOL. XLII (2), 2009.
Walstra P, Wouters JTM, Geurts TJ. 2006. Dairy Science and Technology. Edisi ke-2. London: Taylor & Francis Group.


Udah taulah yaa dikit2 ttg bakteri ini..hehehe kan lumayannn kalo ditanya-tanya mertua bisa ngejawab (preeet yakalee hahahaha). kidding! :P mksd gw,,lumayan kan nambah lagi 1 pembendaharaan kata ttg bakteri pencemar. semoga bermanfaat yaaaa :)