Senin, 17 Juni 2013

RIFT VALLEY FEVER



Pengertian
Rift Valley Fever adalah salah satu penyakit zoonosis yag disebabkan oleh virus RNA dari genus Phlebovirus dari family Bunyaviridae. Rift Valley demam (RVF) juga merupakan zoonosis penting, mempengaruhi berbagai spesies hewan, termasuk ternak domestik dan manusia (Lefevre 1997 dalam Clements 2007). Penyakit ini juga dikenal sebagai demam Kenya karena penyakit ini pertama kali diisolasi di wilayah Rift Valley, Kenya Afrika sekitar tahun 1990 (IOWA State University 2007). Rift Valley Fever ditularkan oleh nyamuk. Jenis Aedes dan Culex merupakan vektor yang sering menularkan dan  ruminansia sebagai host dari penyakit ini. Penyebaran infeksi penyakit ini ke daerah non-endemik kemungkinan besar karena fakta bahwa agen penyebab, RVF virus (RVFV), mampu memanfaatkan berbagai vektor nyamuk (Turrel et al. 1998 dalam Fafetine JM et al. 2006 ).

Etiologi
Agen etiologi penyakit ini adalah Rift Valley Fever Virus (RVFV) yang berpotensi ditularkan oleh spesies yang berbeda dari vektor serangga yang memiliki distribusi global yang luas (Gubler 2002 dalam Clements 2007). Virus ini mengandung tiga genom segmen, yaitu terdiri dari large (L), medium (M) dan small (S) (Elliot 1996 dalam FAO 2011). Segmen L mengkode RNA polimerase yang tergantung RNA virus, dan segmen M mengkode setidaknya dua non-struktural protein yang fungsinya tidak diketahui, gabungannya disebut sebagai NSM dan glikoprotein struktural Gn dan Gc (Gerrard dan Nichol  2007 dalam FAO 2011). Secara serologis  RVF virus  ini  mempunyai hubungan dengan phleboviruses lain, tetapi dapat dibedakan dengan serum netralisasi tes. Hanya ada satu serotipe  RVF virus. Virus ini tidak aktif oleh pelarut lemak (misalnya eter) dan dengan natrium kuat atau kalsium hipoklorit (residu klorin boleh melebihi 5000 ppm) (FAO 2002).
           


Vektor biologis
A. aegypti  biasanya berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran nyamuk rumah (Culex quinquefasciatus), mempunyai warna dasar yang hitam dan bintik-bintik putih pada bagian badannya, terutama pada kakinya dan dikenal dari bentuk morfologinya yang khas sebagai nyamuk, dan mempunyai  gambaran lira yang putih pada punggungnya (Wardani 2009).

Masa pertumbuhan dan perkembangan nyamuk  A. aegypti dapat dibagi menjadi empat tahap yaitu telur, larva, pupa dan dewasa. Menurut Wardani (2009) nyamuk ini sangat menyukai tempat yang teduh dan lembab, suka bersembunyi di bawah kerindangan pohon ataupun pakaian yang tergantung dan berwarna gelap. Nyamuk  A. aegypti  bertelur pada genangan air yang jernih, yang ada di dalam wadah dan bukan pada air kotor.

Menurut Supartha (2008) secara bioekologis spesies nyamuk ini mempunyai dua habitat yaitu perairan untuk fase pradewasa dan daratan untuk fase dewasa, akan tatapi meskipun pada darat terkadang nyamuk dewasa ini akan menghampiri atau mendekati daerah yang terdapat air untuk meletakkan telurnya. Bila telur diletakkan tidak berada dekat dengan air maka telur-telur tersebut masih dapat bertahan hingga tiga bulan sampai satu tahun hal ini diamakan masa hibernasi. Masa hibernasi dari telur-telur ini akan berakhir atau menetas jika sudah mendapatkan lingkungan yang cocok yang biasanya terjadi pada musim hujan.

Selain energi, nyamuk betina juga membutuhkan asupan protein untuk keperluan produksinya dan proses pematangan telurnya. Protein tersebut diperoleh  dari darah inang. Di dalam proses memenuhi kebutuhan protein tersebut ditentukan oleh frekuensi kontak antara vektor dengan inang (Supartha 2008).

Rift Valley Fever Pada Hewan
  1. Penularan
Penularan utama terjadi lewat gigitan/ tusukan nyamuk. Vektor utama penyakit ini adalah Culex pipiens (di Mesir), Aedes sp (di Afrika timur), Culex theileri dan Aides caballus (di Afrika Selatan). Penularan dapat pula terjadi secara kontak langsung dengan jaringan hewan yang baru lahir (placenta, fetus) dari sapi, domba atau  kambing  yang mati abortus akibat RVF(Iowa State University 2005). Transmisi lainnya dapat melalui darah atau jaringan hewan sewaktu merawat hewan sakit, melakukan bedah bangkai (autopsi) untuk pemeriksaan laboratorik atau pemotongan hewan di RPH. Dalam jumlah terbatas, dilaporkan terjadi penularan aerosol pada petugas laboratorium (Soeharsono 2002).

  1. Gejala klinis pada hewan
            Rift Valley fever lebih sering  menginfeksi hewan muda daripada hewan dewasa. Pada hewan muda gejala klinis yang muncul antara lain adalah demam, anoreksia, lemah, diare, dan kematian. Pada hewan yang lebih tua, infeksi dapat menyebabkan demam, keluarnya ingus dari hidung, lemah, diare, muntah, penurunan produksi susu dan abortus. Abortus sering merupakan tanda spesifik pada hewan dewasa (Iowa State University 2005).
Masa inkubasi 1-4 hari. Penyakit ini dicirikan oleh perjalanan akut, demam tinggi, keguguran (abortus) dan hepatitis. Serangan penyakit pada anak domba dapat mengakibatkan kematian secara tiba-tiba tanpa ada gejala klinik sebelumnya. Namun, kematian anak domba ini umumnya didahului dengan demam tinggi, napsu makan menurun drastis, kelemahan fisik, berbaring, kemudian mati setelah 24 jam. Case fatality rate pada anak domba dapat mencapai 95%.
Pada domba dewasa, gejala klinik lebih ringan dibandingkan dengan anak domba. Beberapa domba dewasa bahkan asimptomatik. Domba bunting yang menderita penyakit cukup parah menampakkan gejala dengan berupa demam dengan suhu rektal 40oC – 41oC, keguguran (abortus), dan muntah. Case fatality rate mencapai 25%. Sapi yang terserang penyakit ini mengalami gejala klinis mirip domba, yaitu berupa kematian anak sapi atau keguguran (Soeharsono 2002).

  1. Patogenesa
Infeksi yang disebabkan RVF pada ternak dapat dikenali dengan adanya keadaan heaptitis akut, abortus dan kematian yang terutama terjadi pada hewan betina (Paweska et all. 2008). Penyebaran virus dari area gigitan ke target organ seperti limpa dan hati adalah melalui jalur darah (viraemia). Lesio pada hati berkembang sangat cepat menjadi daerah nekrosa hepatitis sebelum hewan mati. Pada hewan dewasa, lesio pada hati lebih terlihat seperti fokus radang alami. Terjadi pendarahan yang menyebabkan trombositopenia, vasculitis, hepatic necrosis dan penurunan kemampuan pembekuan darah.

  1. Patologi anatomi
 Patologi anatomi yang Nampak adalah nekrosa pada hati. Terdapat pula pendarahan berupa titik dan spot pada seluruh permukaan serosa, limphonodus, subkutan, ginjal dan jaringan lainnya. Pada beberapa kasus infeksi misalnya pada anak domba, hati mengalami pembengkakan dan pengerasan. Jika tidak diselubungi darah, maka hati akan tampak berwarna pucat coklat keabu-abuan hingga kuning kecoklatan serta terlihat spot putih dengan diameter1-2mm. Vesica urinaria mengalami edema dan pendarahan, serta seluruh lymphonodus membengkak. System pencernaan menunjukkan perubahan yang bervariasi dari pendarahan hingga nekrosa. Penimbunan cairan (ascites) di rongga perut, rongga dada, dan paru-paru kadang muncul, serta karkas juga berwarna kekuningan (FAO 2002).

  1. Histopatologi
Penampakan hati yang terkena RVF adalah adanya nekrosa di daerah centrilobular. Beberapa hati bahkan menunjukkan penimbunan mineral. Hadir pula sel-sel radang limfosit, eosinofil dan neutrofil yang mengalami penyusutan dan peluruhan. Pada hewan dewasa lebih sedikit area hati yang mengalami nekrosa, dan hanya pada lobus tertentu (FAO 2002).

  1. Pencegahan transmisi ke wilayah lain
Tindakan karantina dan kontrol harus segera dilakukan jika muncul dugaan penyakit ini pada suatu wilayah tertentu. Minimal radius 10 km dari wilayah yang terkena harus dilakukan kontrol secara intensif (Aziz 2008). Membatasi atau melarang pergerakan ternak merupakan upaya yang cukup efektif dalam memperlambat perluasan virus dari daerah yang terinfeksi ke daerah-daerah yang tidak terinfeksi. Daerah berisiko juga harus ditentukan berkaitan dengan kondisi geografis, arah angin, kehadiran vektor, dan kepadatan inang rentan (IOWA State University 2007).
Pemantauan yang berkelanjutan serta pelaporan setiap terjadi kasus dan kematian merupakan hal yang sangat penting. Setiap terjadi kasus baru harus dilaporkan dan dilakukan peningkatan pengawasan di seluruh wilayah. Kasus pada hewan harus dilaporkan kepada otoritas veteriner. Namun, kontrol pada wilayah epidemi tidak hanya dilakukan oleh dokter hewan, tetapi diperlukan pendekatan multilembaga antara otoritas veteriner dan kesehatan. Pemberitaan secara resmi terkait kasus RVF juga harus selalu dilaporkan kepada masyarakat secara profesional sehingga epidemi dapat terungkap (Aziz 2008). Pembentukan sistem surveilans aktif kesehatan hewan untuk mendeteksi kasus baru sangat penting dalam memberikan peringatan dini untuk hewan dan manusia, terutama otoritas kesehatan masyarakat (WHO 2010).

Rift Valley Fever pada Manusia
  1. Penularan pada manusia
Penularan utama terjadi lewat gigitan/tusukan nyamuk. Vektor utama adalah Culex pipiens (Mesir), Aedes sp. (Afrika Timur) dan Culex theileri (Afrika Selatan). Selain itu terjadi secara kontak, lewat darah, atau jaringan hewan saat meraw at hewan sakit, melakukan bedah bangkai untuk pemeriksaan laboratorium ataupun ketika pemotongan hewan di rumah potong hewan (Soeharsono 2002).

  1. Gejala Klinik pada Manusia
Selama ini, gejala klinis penyakit Rift Valley Disease seringkali bersifat subklinis. Seringkali hanya tampak seperti influenza  dan malaria (Davies FG 2010). Masa inkubasi penyakit ini bervariasi antara 2-6 hari. Sekitar 5% dari kasus penyakit akan menjadi parah, bahkan fatal. Selanjutnya menurut Davies FG (2010), manifestasi klinis yang lebih serius dan bersifat akut adalah demam tinggi yang disertai dengan gejala klinis berupa nekrosa hati disertai pendarahan, retinitis, lesion ocular, dan encephalitis.
Sebuah studi terbaru dari Hassan et al. (2011) menyatakan bahwa gejala klinis penyakit Rift Valley Disease yang parah ditandai dengan adanya arthalgia, komplikasi saluran pencernaan, perdarahan, diikuti dengan sakit kuning dan sering terjadi gagal ginjal.

Diagnosa
            Dalam mendiagnosa RVF akut dapat menggunakan beberapa metode yang berbeda. Tes serologis seperti Enzyme-Linked Immunoassay atau lebih dikenal dengan ELISA dapat mengkonfirmasi adanya antibodi IgM spesifik untuk virus ini. Virus ini sendiri dapat dideteksi dalam darah selama fase dini penyakit atau biopsi jaringan dengan menggunakan berbagai teknik termasuk propagasi virus (dalam kultur sel atau hewan diinokulasi), tes antigen deteksi, dan RT-PCR (WHO 2010).
            Rift Valley Fever virus dapat diisolasi dari darah, otak, hati, atau jaringan lain dari tubuh host, viremia biasanya terjadi hanya selama tiga hari pertama demam. Virus dapat tumbuh di berbagai lini sel meliputi sel-sel ginjal pada anak hamster, sel-sel ginjal (Vero) pada monyet, retikulum endoplasma embrio ayam, dan yang paling utama adalah kultur dari lembu atau domba. Hamster, tikus dewasa atau anak tikus, telur ayam berembrio atau domba berusia dua hari juga dapat digunakan. Antigen virus RNA dapat dideteksi dalam darah dan jaringan sampel oleh berbagai antigen deteksi tes dan membalikkan transkripsi polimerase reaksi berantai (RT-PCR) Asai. Enzyme-linked Imunoasai (ELISA) dan tes lainnya isolasi dapat mendeteksi IgM tertentu atau titers meningkat. Spesimen untuk laboratorium yang diduga terjangkit RVF, harus dibawa dengan hati-hati karena berpotensi untuk  infeks manusiai. Sampel untuk isolasi virus harus diambil dari janin abortus atau hewan yang demam, atau keduanya. Spesimen untuk isolasi virus harus mencakup hati, limpa, heparinized darah, serum, dan otak. Untuk hasil dari isolasi penyakit, hewan yang terjangkit harus diidentifikasi secara permanen, serum pertama dari sampel dikumpulkan, dan serum kedua sampel dikumpulkan minimal 30 hari kemudian (IOWA State University 2007).

Pencegahan dan Pengendalian
Pencegahan dan pengendalian penyakit Rift Valley Fever (RVF) baik pada hewan maupun manusia dapat dilakukan melalui berbagai strategi. Pencegahan dan pengendalian ini salah satunya dapat dilakukan pada hewan, manusia, dan vektor.

  1. Mengontrol RVF pada hewan
Wabah RVF pada hewan dapat dicegah dengan program vaksinasi hewan yang berkelanjutan. Vaksin live attenuated (virus dilemahkan) dan vaksin virus inaktif (virus mati) telah dikembangkan untuk penggunaan hewan. Satu dosis vaksin hidup dapat membentuk kekebalan jangka panjang. Namun, penggunaan vaksin ini dapat mengakibatkan aborsi spontan jika diberikan pada hewan bunting. Vaksin virus inaktif tidak memiliki efek samping seperti vaksin live attenuated tetapi diperlukan beberapa dosis untuk memberikan perlindungan pada hewan di daerah endemis (WHO 2010). Vaksinasi pada hewan rentan dapat mencegah amplifikasi virus dan melindungi hewan serta manusia (IOWA State University 2007).
Vaksinasi pada hewan harus dilakukan sebelum wabah terjadi untuk mencegah epidemi. Apabila telah terjadi wabah, vaksinasi pada hewan merupakan suatu kontraindikasi karena berisiko besar pada hewan. Pekerja tanpa sengaja dapat menyebarkan virus melalui penggunaan vial multidosis dan penggunaan jarum suntik berulang. Jika beberapa hewan dalam suatu populasi sudah terinfeksi dan terjadi viremia (meskipun belum muncul gejala klinis penyakit), virus akan ditularkan  dan wabah akan semakin kuat. Oleh karena itu, keputusan untuk melakukan vaksinasi pada hewan di daerah bebas penyakit namun berdekatan dengan daerah epidemi adalah keputusan berisiko yang bisa menjadi bumerang (Aziz 2008).

  1. Mengontrol RVF pada manusia
Pengobatan dan vaksin yang efektif untuk manusia tidak tersedia sehingga perlu dilakukan peningkatkan kesadaran tentang faktor risiko infeksi RVF serta upaya perlindungan individu (Aziz 2008; WHO 2010). Upaya perlindungan individu dapat dilakukan dengan mencegah gigitan nyamuk untuk mengurangi infeksi pada manusia dan menurunkan angka kematian. Mencegah gigitan nyamuk dapat dilakukan dengan cara penggunaan kelambu pada tempat tidur, penolak nyamuk dengan repelen atau mengenakan pakaian berwarna terang (kemeja lengan panjang dan celana panjang). Menambahkan zat kimia pada pakaian, misalnya dengan permentrin, merupakan tindakan yang sangat efektif untuk mencegah gigitan nyamuk. Selain itu, jika memungkinkan aktivitas di lapangan sebisa mungkin dihindari selama periode puncak aktivitas nyamuk (IOWA State University 2007; WHO 2010).
Selama wabah RVF, kontak dengan hewan, khususnya dengan cairan tubuh hewan, baik secara langsung maupun melalui aerosol, merupakan faktor risiko yang paling signifikan dalam infeksi virus RVF. Pengurangan risiko RVF pada manusia harus terpusat pada transmisi dari hewan ke manusia. Salah satunya adalah risiko akibat peternakan yang tidak aman seperti praktik pemotongan. Selama praktik pemotongan hewan, para pekerja harus menerapkan standar operasional dan memakai sarung tangan, pakaian, serta peralatan pelindung yang sesuai. Selain itu, kewaspadaan harus ditingkatkan ketika menangani hewan yang sakit, menangani jaringan tubuh hewan, atau ketika menyembelih hewan. Risiko transmisi dari hewan ke manusia yang timbul dari konsumsi produk hewan yang tidak aman seperti susu mentah, darah segar, atau jaringan hewan harus dikurangi. Di daerah epidemi, semua bahan dari hewan (darah, daging, dan susu) harus dimasak dengan matang sebelum makan (WHO 2010).
Meskipun tidak ada penularan dari manusia ke manusia, terdapat risiko penularan virus dari pasien yang terinfeksi kepada petugas kesehatan melalui kontak dengan darah atau jaringan yang terinfeksi. Perawat yang kontak dengan pasien RVF harus menerapkan standar operasional saat menangani spesimen dari pasien. Sampel yang diambil dari manusia maupun hewan yang dicurigai terinfeksi RVF harus ditangani oleh staf terlatih dan diproses di laboratorium yang sesuai (WHO 2010).

  1. Pengendalian vector
Virus RVF dapat bertahan dalam telur nyamuk untuk jangka waktu lama, sampai beberapa musim. Wabah RVF umumnya terjadi saat curah hujan yang berkepanjangan, yang sesuai dengan perkembangbiakan vektor nyamuk. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan penyebaran RVF ialah dengan mengendalikan vektor. Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan memutus siklus hidup dan perkembangbiakan nyamuk, yaitu melalui tindakan memberantas telur dan larva di lokasi perkembangbiakan nyamuk. Strategi pengendalian ini merupakan bentuk paling efektif jika siklus perkembangbiakan vektor dapat diidentifikasi dengan jelas dan terbatas dalam ukuran dan luasnya (Aziz 2008; WHO 2010).

  1. Peramalan kejadian RVF melalui model iklim
Peramalan dengan memprediksi kondisi iklim yang sering berhubungan dengan peningkatan risiko wabah dapat meningkatkan pengendalian penyakit. Di Afrika, Arab Saudi, dan Yaman, wabah RVF terkait erat dengan periode rata-rata curah hujan tinggi. Selain itu, wabah RVF di Afrika Timur terkait erat dengan hujan deras yang terjadi selama fase hangat dari fenomena Nino / Southern El Oscillation (ENSO). Peningkatan curah hujan dapat dengan mudah diukur dan dipantau oleh citra satelit penginderaan jauh. Penggunaan citra satelit dan data ramalan cuaca/iklim merupakan pengembangan model peramalan dan sistem peringatan dini untuk RVF. Sistem peringatan dini seperti ini dapat digunakan untuk mendeteksi kasus hewan pada tahap awal wabah sehingga memungkinkan pihak berwenang untuk menerapkan langkah-langkah pencegahan wabah yang akan datang (WHO 2010).

  1. Pencegahan transmisi ke wilayah lain
Tindakan karantina dan kontrol harus segera dilakukan jika muncul dugaan penyakit ini pada suatu wilayah tertentu. Minimal radius 10 km dari wilayah yang terkena harus dilakukan kontrol secara intensif (Aziz 2008). Membatasi atau melarang pergerakan ternak merupakan upaya yang cukup efektif dalam memperlambat perluasan virus dari daerah yang terinfeksi ke daerah-daerah yang tidak terinfeksi. Daerah berisiko juga harus ditentukan berkaitan dengan kondisi geografis, arah angin, kehadiran vektor, dan kepadatan inang rentan (IOWA State University 2007).
Pemantauan yang berkelanjutan serta pelaporan setiap terjadi kasus dan kematian merupakan hal yang sangat penting. Setiap terjadi kasus baru harus dilaporkan dan dilakukan peningkatan pengawasan di seluruh wilayah. Kasus pada hewan harus dilaporkan kepada otoritas veteriner. Namun, kontrol pada wilayah epidemi tidak hanya dilakukan oleh dokter hewan, tetapi diperlukan pendekatan multilembaga antara otoritas veteriner dan kesehatan. Pemberitaan secara resmi terkait kasus RVF juga harus selalu dilaporkan kepada masyarakat secara profesional sehingga epidemi dapat terungkap (Aziz 2008). Pembentukan sistem surveilans aktif kesehatan hewan untuk mendeteksi kasus baru sangat penting dalam memberikan peringatan dini untuk hewan dan manusia, terutama otoritas kesehatan masyarakat (WHO 2010).

Daftar Pustaka
Aziz MIA. 2008. Rift valley fever: the storyunfolds. Sudanese J of Public Health 3(1): 5-10.
Davies F. Glyn. 2010. The Historical and Recent Impact of Rift Valley Fever in Africa. Am. J. Trop. Med. Hyg., 83(Suppl 2), 2010, pp. 73–74. The American Society of Tropical Medicine and Hygiene.
Elliott, R.M. 1996. The Bunyaviridae. New York & London: Plenum Press. Di dalam FAO Animal Production And Health. 2011. Proceedings Rift Valley Fever Vaccine Development, Progress And Constraints. Gf-Tads Meeting January 2011 Issn 1810-0732 12.
FAO. 2002. Preparation of Rift Valley fever contingency plans. FAO Animal Health Manual. Rome. [17 Maret 2012].
Gerrard, S.R. & Nichol S.T. 2007. Synthesis, proteolytic processing and complex formation of N-terminally nested precursor proteins of the Rift Valley fever virus glycoproteins. Virology, 357(2): 124-33. Di dalam FAO Animal Production And Health. 2011. Proceedings Rift Valley Fever Vaccine Development, Progress And Constraints. Gf-Tads Meeting January 2011 Issn 1810-0732 12.
Gubler, D.J., 2002. The global emergence/resurgence of arboviral diseases as public health problems. Arch. Med. Res. 33, 330–342. Di dalam Clements A.C.A. et al. 2007. Preventive Veterinary Medicine 82 (2007) 72–82.
Hopp MJ and Foley J. 2001. Global-scale Relationships Between Climate and the Dengue Fever Vector Aedes AegyptidalamValdovinos Cristina dan Ugonabo Nkemjika. 2008. Assessing the Impact of Treatment of Septic Tanks with Wxpanded Polystyrene beads on Aedes aegypti Larval and Adult Mosquito Emergence.
IOWA State University. 2007. Rift valley fever Infectious enzootic hepatitis of sheep and cattle. Ames: College of veterinary Medicine, IOWA State University.
IOWA State University. 2005. Rift Valley Fever. The Center for Food Security and Public Health. [16 Maret 2012]
Lefevre, P.C., 1997. Actualite de la fievre de la Vallee du Rift quels enseignements tirer des epidemies de 1977 et 1987. Med Trop. (Mars) 57, 61–64. Di dalam Clements A.C.A. et al. 2007. Preventive Veterinary Medicine 82 (2007) 72–82.
Osama Ahmed Hassan, Clas Ahlm, Rosemary Sang, Magnus Evander. 2011. The 2007 Rift Valley Fever Outbreak in Sudan. Plos Neglected Tropical Disease Volume 5.
Paweska JT, Vuren PJ, Kemp A, Buss P, Bengis RG, Gakuya F, et all.2008. Recombinant nucleocapsid-based ELISA for detection of IgG antibody to Rift Valley fever virus in African buffaloJ.T. Paweska et al. / Veterinary Microbiology 127 (2008) 21–28
Soeharsono. 2002. Penyakit Menular Dari Hewan ke Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Supartha I Wayan. 2008. Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam Berdarah Dengue, Aedes Aegypti (Linn.) dan Aedes albopictus (Skuse)(Diptera:Culicidae). Universitas Udayana. Bali.
Turrel, M.J., Bailey, C.L., Beaman, J.R., 1998. Vector competence of a Houston, Texas strain of Aedes albopictus for Rift Valley fever virus. J. Am. Mosq. Control Assoc. 4, 94–98. Di dalam Fafetine JM et al. 2006. Cloning and expression of Rift Valley fever virus nucleocapsid (N) protein and evaluation of a N-protein based indirect ELISA for the detection of specific IgG and IgM antibodies in domestic ruminants. Veterinary Microbiology 121 (2007) 29–38.
 Wardani Sukma. 2009. Uji Aktivitas Minyak Atsiri Daun dan Batang Serai (Andropogon nardus L) Sebagai Obat Nyamuk Elektrik Terhadap Nyamuk Aedes Aegypti. Fakultas Farmasi Universitas Surakarta. Surakarta.
[WHO] World Health Organization. 2010. Rift valley fever. [terhubung berkala]. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs207/en/. [02 Maret 2012].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar